Dialektika ber-Muhammadiyah


Muhammadiyah lahir sangat dipengaruhi oleh gerakan Salafi Timur-Tengah dalam upaya ‘puritanisme’ Islam (pemurnian). Dalam perjalanannya untuk mendobrak budaya taqlid maka Muhammadiyah selalu berupaya melakukan rasionalisasi pada setiap lini kehidupan beragama, melalui keseimbangan fikir dan dzikir. Bukan rasionalisasi yang bertumpu pada akal semata yang bergerak liar tanpa ilmu, sudah jelas akan menjerat manusia pada pembudakan akal itu sendiri yang berisi hawa nafsu pemuasan keingin-tahuan dan antitesis liar. Tetapi rasionaliasi yang dimaksud bagaimana menangkap sebuah realitas beragama dan berkehidupan sosial-kemasyarakatan dengan pertimbangan keilmuan baik dari sumber-sumber hukum Islam yakni : sumber hukum utama (Al-Qur’an, As-sunnah) dan alat bantunya seperti Ijtihad, Qiyas, Ijma’; terta ilmu pengetahuan untuk membaca ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Ayat Qauliyah adalah ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitabNya; dan kauniyah adalah ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada di dalamnya baik yang kecil (mikrokosmos) maupun yang besar (makrokosmos). Terkait dengan ayat qauliyah, Allah SWT berfirman : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an adalah benar. Tidaklah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fussilat. 41 : 53).
Oleh sebab itulah, Allah SWT menurunkan ayat pertama perintah untuk membaca (iqro’) agar tahu mengapa ada ini dan ada itu, mengapa begini dan begitu, bukan sekedar apa. Agar hambanya bukan sekedar menjadi makhluk bergerak tanpa proses berfikir untuk memperimbangkan sesuatu hal dan menilai sesuatu dengan kaku tanpa membuka ruang dialogis.
Sebagai embrio Muhammadiyah ke depan pun harus demikian dalam upaya pencapaian tujuan gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bukan hanya sekedar idealisme dan fanatisme menggebu-gebu. Keilmuan menjadi hal yang terus dikaji untuk mencapai kebijaksanaan berfikir dan bertindak. Mungkin menjadi masalah klasik dalam Muhammadiyah maupun ortom-ortomnya yang seringkali terjadi penggolongan-penggolongan istilah ‘Muhammadiyah kanan’ (Fundamentalisme-radikal) dan ‘Muhammadiyah kiri’ (rasionalisme-liberal). Kesepakatan awal para pendiri persyarikatan sebagai gerakan moderat akhirnya terkubu-kubu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, sehingga dalam memutuskan kebijakan-kebijakannya pun sering terjadi kontroversi paradigma. Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi pada elit-elit pimpinannya saja, bahkan berimbas pada massa gerakannya sehingga dalam memahami dan menyikapi masalah/issue sering terjadi kesimpang-siuran berujung pada konflik yang fatal.
Budaya keilmuan mulai ditinggalkan, hanya berpedoman kami kaum moderat, Islam-Moderat, beribadah pun koderat. Lalu apa bedanya dengan kaum taqlid yang tinggal mengamini instruksi pusat atau kyai yang kadang sulit diterjemahkan oleh grassroot (massanya)?
Alhasil ‘Muhammadiyah kanan’ yang mungkin menganggap lebih islami dan syar’i seringkali tidak sepakat dengan ‘Muhammadiyah kiri’ atau moderat, akhirnya membawa kekecewaannya dengan mencari rumah baru atas kekecewaannya tersebut. Walau pun disatu sisi masih sayang untuk lepas dengan persyarikatan. Sehingga dalam langkah-langkah gerakannya munculllah dualisme Ideologi Gerakan, dimana dalam paradigma kanannya memaksa masuk dalam setiap gerakan Muhammadiyah, tidak toleran dan tekstual, dan berkutat pada perdebatan masalah-masalah fiqih semata. Padahal dalam tafsir Al-Jawahir, Syaikh Thanthawi ditulis bahwa dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah (pengetahuan) dan hanya sekitar 150 ayat yang berisi masalah-masalah fiqih. Hingga mudah memberi label tokoh A sesat, si B liberal, dll. Tidaklah disadari Muhammadiyah bukan gerakan dakwah Islam yang kaku, menutup diri dan eksklusif? ingatkah dakwah kultural yang diusung Muhammadiyah? Bergerak dengan kebijaksanaan memberi pencerahan dengan pertimbangan sumber-sumber keilmuan. Sekali lagi yang akan menjadi korban adalah Muhammadiyah.
Begitu pula ‘Muhammadiyah kiri’ yang tidak sepakat dengan ‘Muhammadiyah kanan’ dan moderat. Mereka mengusung ghauzul fikr, optimalisasi fungsi akal (ra’yu) dalam setiap aksi maupun konsepsi ideologis, dengan tetap eksis mengatasnamakan Muhammadiyah anti-taqlid di ranah apapun, dakwah kultural menjadi metode gerakannya hingga lalai pada pijakan adanya dengan kultural yang ada. Persekutuan kelompok yang berpijak pada agama dan realitas yang melahirkan aliran pembebasan dengan perangkat konsepsi “teologi pembebasan”. Segala sesuatu bisa ditafsirkan oleh manusia yang telah diberi kemampuan akal, semua memiliki kebebasan memilih sikap dan penyikapan, kebebasan pilihan adalah personal privacy. Hingga akhirnya penghambaan pada fungsi akal dan segala sumber bacaan yang dilahap, ditambah mengkorelasikan dengan segala realitas yang dipilah (lagi-lagi oleh akal) sesuai dengan stigma berfikir yang dimiliki. Jika semua memiliki personal privacy mengapa perlu berserikat? Mengapa perlu ada advokasi, jika itu juga merupakan pilihan dari sikap dan penyikapan? Lagi-lagi hanya sekedar paradoks.
Lalu apakah benar kaum moderat, yang harus melihat kontekstual dan tekstual? Ingat lagi Muhammadiyah lahir sebagai kaum yang menginginkan kemurnian ajaran Islam dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT… Tuhan menyukai hal-hal yang seimbang duniawi-ukhrowi, tekstual-kontesktual, dll. Menurut Ahmad Dahlan, “dalam hidup manusia pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup. Pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati yang suci”. Berlandaskan atas tiga pilar transformasi kesadaran nilai kader : dimensi penalaran (aqliyah), spiritualitas/keimanan (ruhiyyah), dan kesehatan badan (jasadiyah).
Maka perlulah kita memahami gerakan Muhammadiyah periode Awal. Pertama, rekonstruksi pemahaman ke-Islam-an yang terdiri dari revitalisasi keyakinan dasar agama melalui filasafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaharuan sosial. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sangat dikenal sebagai gerakan praksis dan pembaharuan sosial, membongkar mitos-mitos keagamaan dalam rangka transformasi sosial. (Achmad Jainuri, “Ideologi Kaum Reformis”).

*Aktivis Muhammadiyah

Posting Komentar

0 Komentar