Eco-Anxiety Gen Z : Menurunkan Kecemasan dengan Aksi



Di berbagai ruang digital anak muda Indonesia, mulai dari unggahan TikTok hingga forum kampus, semakin sering muncul ungkapan seperti “aku takut bumi ini nggak bisa diselamatkan” atau “buat apa punya anak kalau nanti dunia rusak?” Kalimat-kalimat itu bukan sekadar curahan hati remaja yang sensitif, tetapi tanda dari fenomena psikologis yang makin nyata: eco-anxiety atau kecemasan ekologis.

Memahami Eco-Anxiety

Eco-anxiety didefinisikan oleh American Psychological Association (APA, 2017) sebagai “chronic fear of environmental doom”—ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan. Ini bukan sekadar rasa khawatir biasa, melainkan kecemasan yang dapat mengganggu fungsi psikologis seseorang: muncul rasa tak berdaya, sulit tidur, bahkan perasaan bersalah hanya karena hidup di dunia yang sedang rusak.


Konsep ini beririsan juga dengan istilah solastalgia (Albrecht, 200) yakni rasa kehilangan terhadap lingkungan tempat tinggal yang berubah atau rusak meskipun seseorang tidak berpindah tempat. Bagi banyak anak muda Indonesia, perasaan ini nyata ketika mereka melihat hutan di Kalimantan terbakar, banjir di Jakarta makin parah, laut di pesisir kampung nelayan berubah keruh dan penuh sampah, bahkan Bali yang selama ini terlihat damai dan baik-baik saja tiba-tiba terjadi banjir yang tidak sedikit memakan korban.


Contoh Kasus: Ketika Alam Menjadi Sumber Cemas

Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, bukan hanya merusak ekosistem dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis. Data World Bank (2019) mencatat bahwa kebakaran 2015 menyebabkan lebih dari 500.000 kasus ISPA dan kerugian ekonomi lebih dari 221 triliun rupiah. Bagi anak muda yang tumbuh menyaksikan kabut asap tiap tahun, bencana itu meninggalkan memori ekologis yang kuat—seolah alam tidak lagi aman untuk dihuni.


Contoh lain datang dari Jakarta, kota yang perlahan tenggelam. Penurunan muka tanah dan naiknya permukaan laut membuat wilayah pesisir seperti Muara Baru atau Pluit rutin terendam air. Remaja yang tinggal di sana tumbuh dengan kesadaran bahwa rumah mereka bisa lenyap dalam beberapa dekade. Dalam survei imajiner pun, mereka sering mengungkapkan rasa takut kehilangan tempat tinggal. Ini bukan fiksi—ini kecemasan eksistensial yang diturunkan oleh realitas.


Perubahan cuaca ekstrem juga mengancam mata pencaharian orang tua mereka: petani gagal panen akibat pola hujan tak menentu, nelayan tak bisa melaut karena badai lebih sering datang. Ketika keluarga berjuang, anak muda pun ikut menanggung ketidakpastian masa depan.


Mengapa Gen Z Lebih Rentan?

Generasi Z—mereka yang lahir antara 1997 dan 2012—adalah generasi paling terhubung dengan informasi. Ironisnya, konektivitas ini membuat mereka paling terpapar pada berita krisis iklim. Setiap hari linimasa mereka penuh dengan gambar banjir bandang, satwa yang punah, dan laporan IPCC tentang suhu bumi yang terus naik.


Paparan informasi tanpa disertai ruang dialog dan aksi membuat kecemasan menjadi beban pribadi. Menurut penelitian Panu Pihkala (2020), eco-anxiety meningkat ketika seseorang merasa tidak berdaya untuk bertindak. Sementara itu, studi internasional oleh Hickman dkk. (2021) terhadap 10.000 anak muda di 10 negara menunjukkan bahwa 59% merasa sangat atau amat cemas terhadap perubahan iklim, dan 45% mengatakan kecemasan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari.


Kecenderungan ini juga mulai terlihat di Indonesia. Penelitian Sugianto dan Nurhasanah (2022) terhadap mahasiswa di Bandung menemukan bahwa tingkat eco-anxiety berhubungan signifikan dengan paparan berita iklim di media sosial dan rendahnya self-efficacy (rasa percaya diri untuk berbuat sesuatu). Artinya, semakin mereka merasa tidak mampu bertindak, semakin besar pula kecemasannya.


Pendekatan Teori: Antara Duka dan Harapan

Psikolog ekologi Glenn Albrecht (2005) memperkenalkan istilah solastalgia untuk menggambarkan duka ekologis. Teori ini menekankan bahwa kehilangan lingkungan dapat menimbulkan trauma serupa kehilangan orang yang dicintai. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat pada komunitas yang tergusur akibat bencana atau pembangunan yang merusak alam.


Namun, para peneliti seperti Clayton (2020) menekankan bahwa tidak semua kecemasan harus dianggap patologis. Eco-anxiety dapat bersifat adaptif—menjadi tanda empati ekologis dan dorongan untuk bertindak. Tantangannya adalah bagaimana mengubah emosi itu menjadi energi sosial yang konstruktif.


Dari Kecemasan ke Aksi: Solusi yang Bisa Dijalankan

1. Pendidikan Iklim yang Memberdayakan

Sekolah dan universitas perlu melampaui pendekatan teoritis. Program seperti eco-project, urban farming, atau kewirausahaan hijau dapat meningkatkan self-efficacy siswa. Ketika anak muda merasa bisa berbuat sesuatu, rasa cemasnya berkurang. Studi oleh Ojala (2012) menunjukkan bahwa strategi problem-focused coping—yaitu fokus pada solusi konkret—lebih efektif menurunkan eco-anxiety dibanding sekadar menghindari topik lingkungan.


2. Ruang Psikososial dan Dukungan Emosional

Layanan konseling kampus dan komunitas bisa mengintegrasikan diskusi tentang emosi iklim. Misalnya, kelompok diskusi “cerita hijau” di mana mahasiswa berbagi pengalaman tentang ketakutan atau harapan mereka terhadap masa depan bumi. Pendekatan seperti climate cafĂ© yang berkembang di Eropa dapat diadaptasi di Indonesia: ruang aman untuk mengobrol tentang krisis iklim tanpa dihakimi.


3. Kebijakan Publik yang Inklusif dan Transparan

Pemerintah perlu melibatkan anak muda dalam perencanaan kebijakan lingkungan. Program seperti Green Youth Movement, Adiwiyata, atau relawan Mangrove for Future sebaiknya tidak hanya seremonial, tapi memberi ruang bagi suara dan ide anak muda dalam pengambilan keputusan. Ketika kebijakan terasa adil dan responsif, kecemasan kolektif dapat berubah menjadi harapan.


4. Media yang Mendidik, Bukan Menakut-nakuti

Media massa dan influencer punya tanggung jawab besar dalam membingkai isu lingkungan. Berita tentang bencana perlu disertai dengan kisah solusi: inovasi energi bersih, petani yang berhasil beradaptasi, atau komunitas muda yang menanam kembali hutan. Menurut riset Nabi et al. (2022), framing positif meningkatkan niat pro-lingkungan tanpa menimbulkan rasa putus asa.


Saatnya Mengubah Takut Menjadi Tindakan

Eco-anxiety bukan kelemahan generasi muda. Ia adalah cermin kepekaan moral terhadap planet yang sedang terluka. Yang berbahaya bukan kecemasannya, tetapi ketika kecemasan itu diabaikan hingga berubah menjadi apatisme.


Indonesia butuh generasi yang tidak hanya sadar, tetapi juga resilien: mampu memproses duka ekologis dan mengubahnya menjadi komitmen. Sekolah, media, pemerintah, dan komunitas perlu bergandeng tangan menciptakan ruang aksi dan harapan. Karena jika generasi muda kehilangan harapan terhadap bumi, maka kita semua kehilangan masa depan.


*tulisan ini juga diterbitkan di : https://geotimes.id/kolom/eco-anxiety-gen-z-dari-kecemasan-menjadi-aksi-berdampak/

Posting Komentar

Instagram

DANIK EKA RAHMANINGTIYAS | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi