Minggu, Desember 28, 2025
Kegaduhan media sosial muncul kembali yang menyebutkan bahwa IKN sebagai proyek ambisius, tergesa-gesa dan merugikan. Sehingga menyeret Pak Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap sebagai 'dalang' kebijakan sia-sia ini. Karena semakin kencang arus informasi yang berkeliaran hanya memframing bahwa IKN lebih banyak kerugiannya, menambah hutang dan beban negara.
Ibu Kota Nusantara (IKN) bukanlah sekadar mega-proyek infrastruktur yang dibangun di tengah hutan. Ia adalah sebuah epik sejarah tertunda dan laboratorium ambisius untuk merancang perilaku manusia di masa depan, sebuah kebijakan monumental yang mengikat janji-janji masa lalu dengan tantangan masa depan. Kebijakan yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo ini adalah kelanjutan cita-cita founding fathers yang merasa Jakarta tidak lagi merepresentasikan identitas dan geografi keindonesiaan. Proyek raksasa ini berdiri di atas dua pilar utama yang harus diuji: mewujudkan kota yang berkelanjutan secara global dan mengentaskan ketimpangan melalui pemerataan kesejahteraan inklusif.
Gagasan Presiden Soekarno
Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan bukan ide baru di era modern ini. Gagasan ini telah ada sejak masa Presiden Soekarno. Pada 17 Juli 1957 beliau telah memancangkan tiang pertama pembangunan Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kala itu memandang Jakarta sebagai kota dengan simbol-simbol kolonial yang terlalu kental (Simanjuntak, 2017). Soekarno menginginkan sebuah ibu kota baru yang secara fisik dan filosofis mencerminkan jiwa kemerdekaan dan wajah politik yang lebih Indonesia. Palangka Raya dipilih karena letaknya yang berada di tengah kepulauan, melambangkan konsep Indonesia-sentris, sebuah pusat gravitasi yang menyeimbangkan Jawa yang sudah terlalu padat. Meskipun rencana ini terhenti karena prioritas pembangunan nasional lainnya, ide pemindahan ini telah meletakkan landasan filosofis mendalam: Indonesia butuh pusat yang baru, seimbang, dan bebas dari beban masa lalu.
IKN Nusantara yang berlokasi di Kalimantan Timur secara filosofis berfungsi sebagai penutup siklus sejarah yang digagas Soekarno. Jika Soekarno mewacanakan pemindahan karena alasan identitas dan politik, Jokowi menambahkan alasan ekologis dan ekonomis. Saat ini Jakarta menghadapi beban eksistensial, mulai dari penurunan permukaan tanah yang kritis akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan, kepadatan populasi yang ekstrem, hingga disparitas ekonomi yang mencolok (Bappenas, 2022). IKN adalah sebuah lompatan dalam kebijakan publik, sebuah upaya yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah multidimensi Jakarta sambil merangkul visi Indonesia Emas 2045, memindahkan ibu kota bukan hanya sebagai kantor, tetapi sebagai simbol peradaban baru yang futuristik.
Laboratorium dan Arsitektur Perilaku
Konsep Smart Forest City sebagai aplikasi dari gagasan bahwa kota dapat membentuk perilaku warga yang berada di dalamnya. Didesain untuk memutus rantai perilaku urban yang tidak berkelanjutan seperti ketergantungan masih pada kendaraan pribadi dan mengarahkan pada kebiasaan kolektif yang efisien serta ramah lingkungan. Salah satu contoh bagaimana kota dapat membentuk perilaku manusia yang berada di dalamnya adalah Singapura, bahkan masyarakat Indonesia jadi tertib dan taat saat berada disana namun berubah kembali pada kebiasaan lama saat berada di Indonesia.
Bukan sekedar kota teknologi, IKN adalah laboratorium arsitektur perilaku perencanaan kota. Dimana desainnya diadopsi dari prinsip perubahan perilaku dari rekayasa desain tata kota dan sistem yang ada di dalamnya (Thaler dan Sustein, 2008). Indikator perubahan perilaku ini diukur dari dua instrumen utamanya, yaitu transportasi rendah emisi dan hidup yang seimbang. IKN mengalokasikan hingga 80% mobilitas warganya menggunakan transportasi publik atau aktifitas bersepeda dan berjalan kaki. Selain itu konsep 10 menit yang memungkinkan penduduk mencapai tempat kerja, sekolah dan fasilitas publik dalam waktu singkat. Kawasan yang terintegrasi dan memiliki sistem yang tertata dengan baik dapat mengurangi stres, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat di dalamnya. Singkatnya, IKN dirancang untuk kota masa depan yang berkarakter sirkuler, efisien dan sejalan dengan prinsip ekologis.
Visi Futuristik di Tengah Ancaman
Visi ekologis IKN yang menjanjikan 75% kawasan hijau dan Net Zero Emissions (NZE) pada 2045, secara teoritis mengadopsi kerangka kerja Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang bertujuan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan generasi mendatang. Visi ini selaras dengan Teori Ecological Modernization, yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dapat diiringi dengan perbaikan lingkungan melalui inovasi teknologi.
Namun visi ini harus berhadapan dengan ancaman di tahap awal. Pembangunan infrastruktur secara masif harus melalui alih fungsi lahan dan hutan, yang menggangu keanekaragaman hayati. Resiko deforestasi awal dan degradasi lahan menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Tantangan bagi IKN adalah membuktikan komitmen nyata untuk membangun sebuah kota di dalam hutan, bukan menghancurkan hutan demi kota.
Tantangan lainnya adalah keberlanjutan sumber daya, dimana target NZE IKN sangat bergantung pada energi terbarukan dan efisiensi air. Lokasi IKN memiliki keterbatasan cekungan air tanah, sehingga penyediaan air bersih harus mengandalkan pembangunan waduk dan pengolahan air dengan teknologi tinggi. Keberlanjutan IKN tidak hanya diukur dari kemegahan bangunanannya, tetapi bagaimana ekosistem di sekitarnya terintegrasi dengan seimbang.
Kebijakan IKN memang menuntut adanya langkah revolusioner dan berani, terutama di tengah kenyataan bahwa proyek sebesar ini tidak mungkin dapat terwujud tanpa ada rekayasa lingkungan pada tahap awalnya. Keberanian ini merupakan representasi dari prinsip kepemimpinan yang berpihak pada masa depan kehidupan yang lebih luas dan berkelanjutan bagi generasi mendatang, bahkan jika memerlukan biaya politik dan ekologis yang mahal pada saat ini. Hal ini selaras dengan konsep keadilan inter-generasional yang menjadi inti pembangunan berkelanjutan (Brundtland Commission, 1987), dimana sumber daya dan kualitas lingkungan tidak boleh dikompromikan untuk kepentingan jangka pendek.
Realitas di lapangan memang mustahil dapat mencapai pembangunan masif dengan ambisi NZE 2045 tanpa adanya dampak negatif pada lingkungan di fase konstruksi, fakta yang diakui dalam studi mengenai megaproject dan dampaknya terhadap perubahan penggunaan lahan (Flyvbjerg, 2017). Tantangannya buka menghilangkan dampak negatif 100%, melainkan pada komitmen dan ketegasan dalam menjalankan manajemen resiko yang berorientasi pada mitigasi, restorasi dan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa dampak awal yang tidak terhindarkan dapat ditekan serendah-rendahnya.
Pemerataan Kesejahteraan
Janji utama IKN adalah mengatasi disparitas pembangunan di Indonesia. IKN adalah upaya menerapkan Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) oleh François Perroux, di mana pusat pertumbuhan baru (IKN) diharapkan menarik investasi dan menciptakan efek trickle-down ke wilayah sekitarnya, mengurangi dominasi Jawa, serta mendorong pertumbuhan Kawasan Indonesia Tengah dan Timur.
Peluang ekonomi yang tercipta memang luar biasa; IKN diproyeksikan dapat menaikkan PDRB regional Kalimantan secara signifikan dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Namun risiko terciptanya ekonomi enklave sangat tinggi, yakni roda ekonomi hanya didominasi oleh kelompok tertentu. Pertumbuhan yang tinggi di kawasan inti IKN dikhawatirkan memperlebar kesenjangan dengan wilayah sekitarnya (hinterland) dan justru menciptakan disparitas baru di tingkat regional (Habib dkk., 2024).
Risiko sosial yang paling krusial adalah isu lahan dan nasib Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pembangunan IKN secara fisik memotong atau mengganggu wilayah adat. Keadilan Prosedural menuntut bahwa proses pengambilan keputusan, khususnya terkait lahan, harus melibatkan MHA secara penuh dan menjamin ganti rugi yang adil. Jika kebijakan tidak responsif terhadap hak-hak MHA, maka pembangunan IKN akan berisiko melahirkan konflik sosial yang berlarut-larut dan secara fundamental mencederai visi IKN sebagai kota yang beradab dan inklusif sesuai SDG 16 yang berfokus pada perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh.
Selain itu, migrasi dan kesenjangan kompetensi sumber daya manusia menjadi ancaman nyata terhadap pemerataan kesejahteraan lokal. Masuknya ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tenaga kerja terampil dari luar Kalimantan menciptakan tekanan demografi. Jika Pemerintah gagal memprioritaskan peningkatan keterampilan (SDM) bagi penduduk asli, maka lapangan kerja yang diciptakan di sektor smart city dengan gaji tinggi akan didominasi oleh pendatang. Masyarakat lokal akan teralienasi dari kemajuan yang terjadi di tanah mereka sendiri, sebuah hasil yang secara filosofis mengkhianati janji pemerataan kesejahteraan.
Keberanian Jokowi: Barometer Keberhasilan Bangsa
IKN Nusantara adalah blue print yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia. Upaya ambisius untuk mewujudkan model kota futuristik, adaptif terhadap krisis iklim dan menjadi upaya afirmatif dalam pemerataan sosial-ekonomi mayarakat. Keberhasilan IKN tidak hanya diukur dari kecepatan pembangunan fisik saja, tapi bagaimana konsistensi pemerintah dalam menjaga integritas lingkungan, keadilan sosial serta perilaku berkelanjutan.
Keterlibatan dan pengawasan akademisi, media, dan masyarakat memang harus dilakukan dengan ketat. Hanya dengan akuntabilitas penuh, visi mulia IKN dapat terhindar dari risiko menjadi proyek mercusuar mahal bukan hanya memindahkan masalah Jakarta, dan benar-benar menjadi model peradaban baru bagi Indonesia.
Keberanian Presiden Joko Widodo dalam mengeksekusi proyek IKN di pengujung masa jabatannya layak mendapat apresiasi. Dalam lanskap politik di mana popularitas dan warisan politik seringkali menjadi prioritas, keputusan untuk melanjutkan kebijakan yang menuntut suntikan modal politik yang besar dan rentan terhadap serangan kritik adalah langkah yang tidak biasa. Secara tradisional, pemimpin cenderung menghindari kebijakan yang kurang populis, sangat mahal, dan manfaatnya baru bisa dirasakan oleh generasi berikutnya. Namun, Jokowi memilih untuk bertaruh pada visi jangka panjang, menunjukkan keteguhan dan komitmen pada cita-cita Indonesia-sentris yang telah diidamkan sejak era Soekarno, terlepas dari risiko elektoral dan kontroversi yang menyertainya. Kebijakan ini menegaskan bahwa IKN bukan sekadar janji kampanye, melainkan warisan transformatif yang ia yakini akan menentukan arah pembangunan bangsa.
Presiden Jokowi menginggalkan pesan melalui IKN mengenai prioritas pembangunan berkelanjutan dan pemerataan. Kebijakan ini memang membutuhkan biaya yang sangat besar dan menghadapi tantangan lingkungan serta isu sosial yang kompleks. Butuh dukungan parlemen yang menjadikan kebijakan yang melampau periodesasi dan masa jabatan. IKN memaksa Indonesia siap dalam menghadapi krisis iklim, kesenjangan infrastruktur, dan urbanisasi yang tidak terkendali.
Pada akhirnya, keberanian Presiden Jokowi dalam memperlopori IKN menjadi barometer baru bagi kepemimpinan di Indonesia. Ia menunjukkan bhawa di tengah tekanan politik domestik dan tantangan ekonomi global, seorang pemimpin harus berani mengambil resiko untuk meletakkan fondasi bagi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Kini, tugas beralih ke generasi penerus dan seluruh elemen bangsa untuk memastikan bahwa visi mulia IKN sebagai Smart Forest City yang inklusif, tidak hanya terwujud dalam blue print kebijakan, tetapi benar-benar menjadi realitas yang mensejahterahkan masyarakat lokal dan menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.
Di berbagai ruang digital anak muda Indonesia, mulai dari unggahan TikTok hingga forum kampus, semakin sering muncul ungkapan seperti “aku takut bumi ini nggak bisa diselamatkan” atau “buat apa punya anak kalau nanti dunia rusak?” Kalimat-kalimat itu bukan sekadar curahan hati remaja yang sensitif, tetapi tanda dari fenomena psikologis yang makin nyata: eco-anxiety atau kecemasan ekologis.
Memahami Eco-Anxiety
Eco-anxiety didefinisikan oleh American Psychological Association (APA, 2017) sebagai “chronic fear of environmental doom”—ketakutan kronis terhadap kehancuran lingkungan. Ini bukan sekadar rasa khawatir biasa, melainkan kecemasan yang dapat mengganggu fungsi psikologis seseorang: muncul rasa tak berdaya, sulit tidur, bahkan perasaan bersalah hanya karena hidup di dunia yang sedang rusak.
Konsep ini beririsan juga dengan istilah solastalgia (Albrecht, 200) yakni rasa kehilangan terhadap lingkungan tempat tinggal yang berubah atau rusak meskipun seseorang tidak berpindah tempat. Bagi banyak anak muda Indonesia, perasaan ini nyata ketika mereka melihat hutan di Kalimantan terbakar, banjir di Jakarta makin parah, laut di pesisir kampung nelayan berubah keruh dan penuh sampah, bahkan Bali yang selama ini terlihat damai dan baik-baik saja tiba-tiba terjadi banjir yang tidak sedikit memakan korban.
Contoh Kasus: Ketika Alam Menjadi Sumber Cemas
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan, misalnya, bukan hanya merusak ekosistem dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis. Data World Bank (2019) mencatat bahwa kebakaran 2015 menyebabkan lebih dari 500.000 kasus ISPA dan kerugian ekonomi lebih dari 221 triliun rupiah. Bagi anak muda yang tumbuh menyaksikan kabut asap tiap tahun, bencana itu meninggalkan memori ekologis yang kuat—seolah alam tidak lagi aman untuk dihuni.
Contoh lain datang dari Jakarta, kota yang perlahan tenggelam. Penurunan muka tanah dan naiknya permukaan laut membuat wilayah pesisir seperti Muara Baru atau Pluit rutin terendam air. Remaja yang tinggal di sana tumbuh dengan kesadaran bahwa rumah mereka bisa lenyap dalam beberapa dekade. Dalam survei imajiner pun, mereka sering mengungkapkan rasa takut kehilangan tempat tinggal. Ini bukan fiksi—ini kecemasan eksistensial yang diturunkan oleh realitas.
Perubahan cuaca ekstrem juga mengancam mata pencaharian orang tua mereka: petani gagal panen akibat pola hujan tak menentu, nelayan tak bisa melaut karena badai lebih sering datang. Ketika keluarga berjuang, anak muda pun ikut menanggung ketidakpastian masa depan.
Mengapa Gen Z Lebih Rentan?
Generasi Z—mereka yang lahir antara 1997 dan 2012—adalah generasi paling terhubung dengan informasi. Ironisnya, konektivitas ini membuat mereka paling terpapar pada berita krisis iklim. Setiap hari linimasa mereka penuh dengan gambar banjir bandang, satwa yang punah, dan laporan IPCC tentang suhu bumi yang terus naik.
Paparan informasi tanpa disertai ruang dialog dan aksi membuat kecemasan menjadi beban pribadi. Menurut penelitian Panu Pihkala (2020), eco-anxiety meningkat ketika seseorang merasa tidak berdaya untuk bertindak. Sementara itu, studi internasional oleh Hickman dkk. (2021) terhadap 10.000 anak muda di 10 negara menunjukkan bahwa 59% merasa sangat atau amat cemas terhadap perubahan iklim, dan 45% mengatakan kecemasan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan ini juga mulai terlihat di Indonesia. Penelitian Sugianto dan Nurhasanah (2022) terhadap mahasiswa di Bandung menemukan bahwa tingkat eco-anxiety berhubungan signifikan dengan paparan berita iklim di media sosial dan rendahnya self-efficacy (rasa percaya diri untuk berbuat sesuatu). Artinya, semakin mereka merasa tidak mampu bertindak, semakin besar pula kecemasannya.
Pendekatan Teori: Antara Duka dan Harapan
Psikolog ekologi Glenn Albrecht (2005) memperkenalkan istilah solastalgia untuk menggambarkan duka ekologis. Teori ini menekankan bahwa kehilangan lingkungan dapat menimbulkan trauma serupa kehilangan orang yang dicintai. Dalam konteks Indonesia, hal ini terlihat pada komunitas yang tergusur akibat bencana atau pembangunan yang merusak alam.
Namun, para peneliti seperti Clayton (2020) menekankan bahwa tidak semua kecemasan harus dianggap patologis. Eco-anxiety dapat bersifat adaptif—menjadi tanda empati ekologis dan dorongan untuk bertindak. Tantangannya adalah bagaimana mengubah emosi itu menjadi energi sosial yang konstruktif.
Dari Kecemasan ke Aksi: Solusi yang Bisa Dijalankan
1. Pendidikan Iklim yang Memberdayakan
Sekolah dan universitas perlu melampaui pendekatan teoritis. Program seperti eco-project, urban farming, atau kewirausahaan hijau dapat meningkatkan self-efficacy siswa. Ketika anak muda merasa bisa berbuat sesuatu, rasa cemasnya berkurang. Studi oleh Ojala (2012) menunjukkan bahwa strategi problem-focused coping—yaitu fokus pada solusi konkret—lebih efektif menurunkan eco-anxiety dibanding sekadar menghindari topik lingkungan.
2. Ruang Psikososial dan Dukungan Emosional
Layanan konseling kampus dan komunitas bisa mengintegrasikan diskusi tentang emosi iklim. Misalnya, kelompok diskusi “cerita hijau” di mana mahasiswa berbagi pengalaman tentang ketakutan atau harapan mereka terhadap masa depan bumi. Pendekatan seperti climate café yang berkembang di Eropa dapat diadaptasi di Indonesia: ruang aman untuk mengobrol tentang krisis iklim tanpa dihakimi.
3. Kebijakan Publik yang Inklusif dan Transparan
Pemerintah perlu melibatkan anak muda dalam perencanaan kebijakan lingkungan. Program seperti Green Youth Movement, Adiwiyata, atau relawan Mangrove for Future sebaiknya tidak hanya seremonial, tapi memberi ruang bagi suara dan ide anak muda dalam pengambilan keputusan. Ketika kebijakan terasa adil dan responsif, kecemasan kolektif dapat berubah menjadi harapan.
4. Media yang Mendidik, Bukan Menakut-nakuti
Media massa dan influencer punya tanggung jawab besar dalam membingkai isu lingkungan. Berita tentang bencana perlu disertai dengan kisah solusi: inovasi energi bersih, petani yang berhasil beradaptasi, atau komunitas muda yang menanam kembali hutan. Menurut riset Nabi et al. (2022), framing positif meningkatkan niat pro-lingkungan tanpa menimbulkan rasa putus asa.
Saatnya Mengubah Takut Menjadi Tindakan
Eco-anxiety bukan kelemahan generasi muda. Ia adalah cermin kepekaan moral terhadap planet yang sedang terluka. Yang berbahaya bukan kecemasannya, tetapi ketika kecemasan itu diabaikan hingga berubah menjadi apatisme.
Indonesia butuh generasi yang tidak hanya sadar, tetapi juga resilien: mampu memproses duka ekologis dan mengubahnya menjadi komitmen. Sekolah, media, pemerintah, dan komunitas perlu bergandeng tangan menciptakan ruang aksi dan harapan. Karena jika generasi muda kehilangan harapan terhadap bumi, maka kita semua kehilangan masa depan.
*tulisan ini juga diterbitkan di : https://geotimes.id/kolom/eco-anxiety-gen-z-dari-kecemasan-menjadi-aksi-berdampak/


Social Media
Search