Oleh : Danik Eka R.
Indonesia sebagai Negara pluralis, secara tidak langsung telah mengingkarinya. Lembaga pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia dewasa terdidik, bijak dalam melihat fenomena kehidupan, sesuai dengan maksud pendidikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Namun secara de facto malah menjadi perusahaan jasa pencipta tenaga kerja terampil oleh para kapitalis atau malah menjadi lembaga indoktrinitas kepentingan politik para penguasa, yang lebih parah malah menjadi laboratorium untuk meningkatkan gengsi si pembuat sistem. Alhasil, sistem terus berubah bersama dengan aktor sistem yang berubah padahal pelaku pendidikan belum matang menjalankan sistem yang baru diberlakukan.
Maka, yang tercipta manusia robot yang tercipta berdasarkan kepentingan rezim. Sehingga proses kreatifitas dalam pendidikan itu sendiri lambat laun akan beku.
Dalam sebuah pendidikan sebagai proses pembelajaran adalah upaya mengubah manusia menjadi pribadi yang lebih baik. Maka, perlulah sebuah penyadaran kondisi siapa kita dan makna dari perubahan (transformasi) lalu adanya pemberdayaan dari kesadaran potensi yang dimiliki serta pembelaan (advocation) dari hasil-hasil kreatif yang telah tercapai (freire).
Maka sentralisasi cultural dalam sebuah pendidikan dengan istilahnya Kebudayaan Nasional secara tidak langsung telah menutup ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam system pendidikan. Bahkan bisa jadi, tameng efek negative globalisasi terkikis disini. Sebenarnya seperti apakah kebudayaan nasional itu? Bukankah yang tersusun dari budaya-budaya local dimana sebagai bagian masa depan dengan olahan kreatif menjadi sebuah pertahanan bangsa dari gempuran kapitalis ataupun permainan politis melalui policy (kebijakan) yang ditetapkan.
Sejarah telah mencatat bahwa pendidikan di Indonesia telah mencetak manusia-manusia yang tidak paham akan keberagaman sehingga banyak terjadi konflik disana-sini tapa sebuah solusi, bagai lubang yang terus menganga dan siap memakan korban ulang apabila sedikit saja terlelap. Hal ini disebabkan karena sebuah egoisme kelompok tanpa adanya open minded untuk belajar menghargai dan memahami kelompok lain. Ada pula manusia-manusia yang hanya paham akan usaha pencapaian materi semata. Pendidikan yang seharusnya menjadi lembaga pencerahan paradigma tentang wacana keunikan individu dan kelompok.
Benarkah pendidikan di Indonesia telah sejauh itu dalam memanusiakan manusia atau sekedar “institusi konservatif kapitalis” yang selalu bertuan pada pada rezim dan pemilik modal, lalu system apa yang tepat untuk merekontruksi sebuah bangunan pluralis yang carut marut?
0 Komentar