Catatan di Kereta Api Ekonomi Sri Tanjung

Pukul 09.35 WIB kereta api ekonomi Sri Tanjung meluncur dari Stasiun Lempuyangan dengan tujuan akhir Stasiun Jember. Aku menelusuri lorong-lorong kereta mencari bangku kosong, karena memang di tiket tidak tertera nomor kursi. Jika beruntung akan dapat kursi, jika pedumpang padat ya harus berdiri di lorong-lorong kereta. Setelah berjalan agak panjang akhirnya aku dapat kursi berhadapan masing-masing berisi tiga orang penumpang dan ku dapati hanya tiga orang saling berhadapan. Dua orang perempuan duduk berdampingan seperti sepasang ibu dan anak, dan dihadapannya seorang laki-laki berusia 30 tahunan yang selalu menghadap ke luar jendela tanpa ada percakapan dengan orang-orang di sekitarnya. Aku minta izin duduk di samping laki-laki itu.

Selama perjalanan terdengar suasana riuh pedagang dan penawar jasa yang tiada lelah berlalu-lalang sambil berebut simpati penumpang. Suasana di bangku ini tetap senyap tanpa ada percakapan kecuali sepasang ibu dan anak di depanku. Aku mencoba mulai percakapan dengan bertanya asal dan tujuan dari 2 perempuan di depanku itu, namun mereka hanya menjawab sambil lalu. Mungkin sapaku tadi mengganggu kenyamanan mereka.

Selanjutnya aku coba menyapa laki-laki 30 tahunan di sampingku yang sedang sibuk dengan Harian Yogyakarta di tangannya. "Bapak darimana dan hendak kemana?", lalu dijawabnya "dari Cilacap mau ke Paron". Aku rasa bapak ini cukup enak diajak ngobrol. Aku coba bertanya beberapa hal ringan mengenai rumah dan tujuan perjalannya. Dia cukup antusias menjawab pertanyaan-pertanyaanku dan bertanya balik padaku. Hingga muncul pertanyaan baru di benakku, tadi bilang dari Cilacap hendak ke Paron tapi logatnya seperti dari luar jawa mungkin Medan.
"Logat bapak seperti orang luar Jawa ya...." ku gantung pertanyaanku.
Bapak itu diam sebentar lalu tersenyum, setelah agak lama ia menjawab "betul, saya orang Medan"
Wah, ternyata tidak salah perkiraanku tadi.

Percakapan kami terus mengalir, hingga akhirnya aku tahu ternyata laki-laki itu sedang bekerja di pengeboran minyak di Bojonegoro. Sementara di Cilacap sedang berkunjung di rumah kakaknya yang juga bekerja di pengeboran minyak disana. Keluarganya tetap berada di Medan sebagai suku melayu. Laki-laki itu bekerja di pengeboran minyak Bojonegoro baru dapat satu tahun. Dia sebagai pekerja hidup di asrama bersama teman-teman pekerja lainnya. Sistem kerjanya dalam sebulan terbagi menjadi 3 bagian, 10 hari sift siang, 10 hari sift malam, dan 10 hari libur tanpa ada agenda sama sekali. Jika liburan, laki-laki itu merasa sepi sekali karena tidak ada jatah makan ditambah jauh dari pemukiman penduduk. Jadi jika liburan dia pulang ke medan apabila uang untuk pulang cukup, sementara jika tidak cukuplah menengok keponakannya di cilacap.

Dia sebenarnya merasa kurang kompeten di bidang pekerjaannya saat ini karena dia seorang Sarjana Ekonomi dari Universitas Andalas. Namun, karena dia memiliki relasi disana maka ia ingin bekerja di pengeboran minyak dan mengikuti pendidikan selama 1 tahun.

Aku menyimak cerita laki-laki tersebut, bagiku sungguh sangat menarik. Seorang yang berkerja di suatu tempat yang mengahasilkan sesuatu yang dicari-cari oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan yang membuat masyarakat ketakutan. Luar biasa! Satu tempat pengeboran per-hari dapat menghasilkan 200 barel minyak mentah, dimana tiap barelnya berisi 150 liter lebih, Wuih!. Apalagi di Kabupaten Bojonegoro ada 4 pengeboran minyak, Gila! Di Indonesia ada berapa puluh atau ratus pengeboroan minyak. Tapi kenapa harga minyak mahal sekali dan langka perolehannya??? Aku langsung ingat pada abahku yang seorang petani, saat-saat harus mengairi sawah. Bingung kesana-kemari mencari minyak tanah. Bahkan harga per liter sampai 10,000 dijabani dengan jarak tempuh 1 jam naek motor kecepatan +/- 60 km. Bayanganku terus melayang pada para nelayan 15 km dari rumahku dengan perkampungan kumuh yang selalu mengikuti antrian panjang untuk memperoleh bahan bakar sekedar menggerakkan perahunya, sementara harga ikan tangkapannya juga tak seberapa jika dibandingkan dengan beban hidup yang makin hari makin tinggi. Sial! Koq kita jadi sengsara di rumah sendiri, padahal negeri kita kaya raya….???

Menurut bapak itu, pengeboran minyak itu biasanya ada satu pipa utama yang disalurkan ke tangki pengolahan. Tapi ada yang keren lho, di tengah perjalanan ada pipa misterius… yang disalurkan ke sebuah tempat khusus orang-orang khusus juga (intinya privat). Aku jadi bertanya, apakah tidak ada penertiban dengan pipa-pipa itu? Wah, ternyata seluruh tokoh-tokoh yang ada didalamnya saling bersatu berpadu melakukan penggerogotan. Mulai dari tim keamanan, polisi, pejabat, hingga pengadilan… yang penting cair hehehe… oya, 200 barel itu hasil dari pipa utama setelah dikurangi pipa misterius. Jadi berapa ya, produksi minyak di Indonesia jika murni dikelola untuk rakyat?

Koq minyak mahal??? Pernah denger gak kalo bekerja di pertamina atau pengeboran minyak tuh ladangnya duit? Rata-rata perusahaan yang kurang professional dan gak disiplin yang dikelola oleh Indonesia sendiri, namun jika dikelola oleh pihak asing sangat kecil sekali kemungkinan-kemungkinan seperti diatas. Tapi prosentase pembagiannya gila-gilaan bisa-bisa sampe 60:40, tentunya 40 untuk Indonesia. Di Bojonegoro saja 4 pengeboran itu dikelola oleh asing termasuk tempat laki-laki itu juga bekerja.

Di sisi lain, hal yang dipertimbangan saat perusahaan pengeboran didirikan pada suatu daerah adalah kesejahteraan warga sekitar. Karena saat omset perusahaan naik, pembangunan daerah juga harus diperhatikan. Sehingga tidak aneh jika seringkali kita temukan banyak warga yang tidak sepakat didirikannya suatu lokasi pengeboran sumber daya alam. Memang yang perlu diperhatikan ada banyak hal dalam pengembangannya, diantaranya : 1) bagaimana mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar; dan 2) bagaimana CSR mampu mendorong untuk pembangunan daerah. Namun juga jadi dilema tersendiri jika dilihat masyarakat tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Bisa jadi hanya akan menumpuk tenaga kerja tanpa keterampilan yang otomatis juga akan menjadi beban perusahaan.

Aku jadi terus mengingat kondisi rakyat di bangsaku. Sedih juga, menyaksikan sebuah realita yang perlu perjuangan panjang. Tapi harus diulai darimana ya… Yups! Itu hanya sekelumit kisah perjalananku Jogja-Jember, sayangnya laki-laki itu harus turun di stasiun paron Madiun. Sebelum turun laki-laki itu berpamitan sambil memberikan sebungkus besar kerupuk ikan bunder-bunder padaku, wuih mak nyuss! Sayangnya aku lagi flu plus batuk. Tapi gak papa, buat oleh-oleh anak-anak di kantor PD IPM Jember, kan ngirit hehey… ceritane neh si miskin lagi berlibur. Walo hanya sekedar cerita dan diskusi ringan tanpa data tertulis yang jelas tapi cukup nambah-nambah cerita baru. Waduh, lupa siapa ya nama bapak itu???

Posting Komentar

0 Komentar