"Pemimpin di IPM itu bukan pemimpin tanpa proses, mulai dari mengenal, menimba ilmu, jatuh cinta, merasa jenuh hingga benci di titik klimaks, merasakan dengan hati, peka terhadap realitas, lalu dari situ ia memimpin dengan hati. Kawanku, coba sedikit kita intip mereka yang membutuhkan kebijaksanaan dan kasih sayang kita."
Sore ini, ku sedikit merasakan posisiku ber-IPM. Setelah kemarin ku hadir di sebuah pernikahan alumni ku dapati pemandangan yang membuatku selalu bertanya akan loyalitas dan eksistensi kader hingga elit pimpinan. Sunguh luar biasa, saat ku lihat para anggota IPM di grassroot yang begitu bangga dengan identitas simbolik-simboliknya. Terlihat sepele, namun begitu besar kepedulian dan kecintaan mereka pada IPM. Padahal yang mereka ketahui hanya IPM adalah… IPM lahir pada tanggal… tujuan IPM adalah… lambing IPM adalah… lagu IPM adalah…, sungguh luar biasa!
Di sudut gedung itu ku dapati beberapa anggota IPM begitu bangganya dengan memakai jas IPM. Ternyata mereka selalu mengenakannya di tiap menghadiri pernikahan setiap anggota IPM, alumni, ortom Muhammadiyah, bahkan anggota organisasi kemasyarakatan diluar muhammadiyah selalu mengenakan jas IPM. Walaupun jas tersebut di beberapa anggota kelihatan kedodoran dan warnanya terlihat mulai memudar karena usianya yang sudah tua, katanya karena warisan mau beli yang baru gak da dana, “dananya habis buat acara mba”. Semakin sedihlah hati ini, saat ada seorang penerima tamu berceletuk dengan wajah yang menunjukkan wajah jijik sambil melihat salah satu dari mereka yang jasnya kedodoran dan sedikit pudar, “hih, kopros… kopros…” Ya Allah, padahal ku tahu mereka semua berpakaian rapi selayaknya seorang yang menghadiri pesta. Namun, karena cintanya pada IPM rela menutupnya dengan jas itu. Rasanya ingin kuhantam orang itu.
Ada lagi seorang anggota yang ikut IPM diawalinya sebagai atlet Tapak Suci yang lebih dulu masuk di sekolah-sekolah non-Muhammadiyah dan negeri sebagai ekstra-kurikuler, berani memproklamirkan identitas barunya. Kamar di kosan, terpampang logo IPM dengan gagahnya. IPM aku cinta kamu,,, begitu selalu ia lantunkan. Rajin sekali ke kantor IPM meskipun sekedar merapikan kantor sambil bertanya “hari ini ada yang bisa tak bantu untuk IPM?” dia selalu hadir dengan bersepeda atau lari padahal jarak dengan kosannya cukup jauh sekitar 3 KM, hujan tak menjadi halangan. Untuk anggota IPM baru, sungguh luar biasa!
Salah seorang ku ketahui karena di setiap tampil di depan public selalu menutup dengan Q.S. Al-Qolam : 1, lalu membaca artinya pula tak lupa sampbil menyisipkan aktifitas-aktifitas pembelaan pelajar yang ada di IPM.
Ini lebih radikal, gak rela apabila ada yang menjelekkan IPM sedikit pun. Langsung disantap lah sudah,,, vespa berbaju IPM, di tas penuh dengan pin dan gantungan IPM, pintu dan dinding kamar sudah tidak berbentuk bahkan ruang tamu rumahnya pun begitu, yang tampak hanya IPM saja.
Kulihat begitu menggemaskan anak-anak usia sekitar 10-15 tahun, ada yang berjalan bersama-sama sambil bercanda, bersepeda bersama-sama dengan berlomba siapa yang bisa sampai dulu di tempat pengajian ranting IPM. Saat dinyanyikan Mars IPM Berjaya, semua berdiri dan bernyanyi dengan keras, apabila ada yang bercanda sendiri saat menyanyi pasti kena marah oleh teman-temannya. Suatu hari undangan pengajian itu ditunggu hingga sekitar 2 bulan tidak datang-datang, anak-anak kecil itu seminggu yang lalu mendatangi rumahku dengan bersepeda. “mbak, pengajian yuk… pengajian ya… kan kita udah kangen gak nyanyi-nyanyi IPM. IPM gak punya uang ya mbak, kita mau koq disuruh infaq 500-an. Di masjid juga gak papa, ntar duitnya buat beli gorengan trus airnya bawa sendiri-sendiri dari rumah biar banyak yang datang… pengajian ya mbak…” Mereka mendatangiku karena aku pernah mengisi pengajian mereka. Ya Allah, beri aku waktu agar aku bisa mendampingi mereka barang sebentar.
IRM mini, fenomena yang luar biasa. Pengajian yang diikuti oleh anak-anak TK hingga SD. Pengajian ini ada di desa tetanggaku, aku pernah mengisi pengajian IRM mini ini, mereka berjumlah sekitar 50-an anak, begitu semangatnya mulai dari MC, Tilawatil Qur’an, Pemandu Mars IRM, hingga Kultum dari mereka semua. Subhanallah, ternyata dulu pimpinan cabang setempat pernah di kritik oleh beberapa elit pimpinan bahwa IRM mini tidak ada di structural IRM hingga ada solusi jika nama mereka diganti nama selain menggunakan nama “IRM”. Tetapi anak-anak kecil itu menolak dengan keras dan melakukan mogok pengajian. Perjuangan mujahid kecil ini akhirnya berhasil mempertahankan nama mereka.
Subhanallah! Tak ada yang sanggup kuucap dengan fenomena yang luar biasa ini. Namun bagaimana dengan para kader yang telah mengenyam perkaderan formal utama hingga ke jenjang sangat tinggi hingga yang ada ‘semakin tinggi tingkat perkaderan seseorang semakin bodoh dan tidak ber-empatilah pada ikatan’. Sebuah proses yang bagi anggota-anggota IPM tersebut hanyalah sebuah mimpi dan harapan yang sangat tinggi sekali,, kapan ya… jadi kaya’ mas dan mbak itu ya… “apa bisa ya, sampai akhir usiaku di IPM bisa jadi Pimpinan Daerah, apalagi PP. Wuih!”
Setiap tindakan dan ucapan yang keluar dari anggota-anggota IPM yang begitu putih cintanya pada IPM, aku selalu ingin marah terutama pada diriku. Apa yang sudah kuperbuat untuk mereka, ini dosa orang-orang yang sudah dididik jadi kader oleh IPM, dosa-dosa orang yang berani menduduki kursi elit pimpinan. Semakin tinggi posisi seseorang semakin besar pula kewajiban yang harus diembannya.
Di posisi atas saling memperebutkan kursi pimpinan, kesempatan untuk didelegasikan kemana…, tak tau essensi apa yang akan terjadi setelah itu. Jalan ‘kotor’ dengan jalan memfitnah, menjegal yang diangap lawan padahal kawan, menjatuhkan, merapas hak, menghambat seseorang untuk beraktulisasi dengan mencari rasionalisasi, berbohong, menyembunyikan informasi, bahkan hingga bermain system yang tidak bersih menjadi hal yang lumrah. Setelah sudah di dapat, pernahkah kita pikirkan anggota-anggota IPM yang putih seperti itu. Membutuhkan sebuah pimpinan dan kebijakan yang berangkat dari hati yang tulus ikhlas ber-IPM. Berakhlaq seperti yang dipikirkan oleh tiap anggota IPM, karena ia tau dari teks-teks yang ada di IPM, dan teks-teks itu disusun oleh para kader dan elit pimpinan. Lalu, apa harus diamandemen bahkan dirubah teks-teks itu bila hanya menyiksa para elit untuk menjadi sosok yang ideal????
Para anggota itu, hanya berharap diajak, didampingi, diarahkan dengan berIPM. Kitalah yang meluangkan waktu untuk mereka bisa dengan pendampingan langsung atau melahirkan teks-teks yang memahami keadaan dan kebutuhan mereka. Bukan ribut dengan politik pragmatis, sibuk menyusun teks-teks yang by actor not by issue, hingga menghabiskan waktu sekedar membuat aksi supaya dapat dikatakan gerbong yang dibawanya telah berjalan.
Aku mencoba melihat aku 12 tahun yang lalu, mulai mengenal IPM. Ku mengetahui seorang kakak yang aktif di Pimpinan Daerah, yang ku pikirkan saat itu dia adalah sosok yan sudah melewati tahap yang luar biasa belajar kepedulian terhadap anggota IPM yang begitu banyaknya. 10 tahun yang lalu ku sangat mengapresiasi salah seorang kakak IPM yang berasal dari desaku jadi peserta Muktamar IPM di Jakarta, wah dia bisa terpilih mengemban tugas suci untuk IPM. Waktu itu yang ku tahu hanya itu, dan apakah mungkin aku bisa jadi kader dan pimpinan yang kalo bisa sich apa bisa seperti. Aku tak tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang sangat pintar dan berpengalaman saat sudah bersatu sudah ada disana…
Aku semakin berdosa melihat posisiku, aku bukan sekedar Tim Pimpinan Daerah yang pernah kupikirkan saat itu. Ketua Umum itu bukan posisi yang nyaman, banyak yang ingin menurunkanku bahkan menghalalkan melakukan tindakan-tindakan anarkis yang menghancurkan ketenangan anak-anak di ranting karena informasi-informasi yang diberikan semakin membingungkan mereka. Ada banyak ‘PR’ ternyata yang belum usai. Ternyata fenomena iu tidak hanya di daerahku saja, banyak juga di tempat lainnya.
Dan kini, semakin tinggi, semakin nyeri dada ini. Disetiap sudut-sudut keberadaan IPM bersama anggota-anggotanya yang sungguh putih, semakin menambah ‘PR’ yang luar biasa dan binasa apabila kader dan elit pimpinannya hanya sibuk dengan gerbong kecilnya.
Pemimpin di IPM itu bukan pemimpin tanpa proses, mulai dari mengenal, menimba ilmu, jatuh cinta, merasa jenuh hingga benci di titik klimaks, merasakan dengan hati, peka terhadap realitas, lalu dari situ ia memimpin dengan hati. Kawanku, coba sedikit kita intip mereka yang membutuhkan kebijaksanaan dan kasih sayang kita.
dhans.tsaqof@gmail.com
Ambulu, 22th March 2010
At. 04.00 PM
0 Komentar