Pengantar
Apa yang terlintas dalam pikiran kita
saat melihat korban berjatuhan akibat tawuran pelajar? Miris, takut, sedih,
bahkan mengecam atau malah bangga bahwa wujud dari “jagoan”nya kita. “Tawuran”
dan “Pelajar” adalah dua diksi yang berbeda tentunya jika disandingkan akan
memunculkan artikulasi yang kontroversif.
Tawuran sebagai suatu bentuk perilaku
agresi baik yang dilakukan oleh dindividu atau kelompok. Dalam ilmu psikologi
dan sosial agresi merujuk pada perilaku yang bertujuan membuat objeknya
mengalami bahaya atau tersakiti baik secara verbal maupun non-verbal. Myers (1985)
mengatakan bahwa tingkah laku agresif adalah tingkah laku fisik atau verbal
untuk melukai orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz (1987), agresi merupakan
suatu bentuk perilaku yang mempunyai niat tertentu untuk melukai secara fisik
atau psikologis pada diri orang lain. Jadi, tawuran sebagai bentuk perilaku
yang memiliki konotasi negatif dan merugikan orang lain.
Sementara itu pelajar sebagai orang
yang sedang dalam proses belajar; mencari ilmu dengan menggunakan potensi akal
dan hati nurani (dimensi kebenaran) dalam rangka mencapai proses pendewasaan
diri. Sehingga jika diksi “tawuran” dan “pelajar” disandingkan menjadi sebuah
istilah yang kontroversif, karena ada salah satu diksi yang tidak berjalan
sesuai tugas dan fungsinya. Misal “pelajar” ada peran atau elemen pendukung
lainnya yang tidak tuntas dalam proses dalam internalisasi makna tersebut.
Menurut Moyer (1968), dalam sudut
pandang biologis-evolusi ada tujuh bentuk agresi yakni :
1.
Agresi
pemangsa : serangan terhadap mangsa oleh pemangsa. Misal : kaum borjuis kepada
kaum proletar, dsb.
2. Agresi
antar jantan : kompetisi antar sesama spesies dan jenis yang sama. Misal : perebutan
betina, dsb.
3.
Agresi
akibat takut : agresi yang dihubungkan dengan upaya menghindari ancaman. Misal
: istri membunuh suami karena terlalu sering disiksa dan disakiti.
4. Agresi
teritorial : mempertahankan suatu daerah teritorial dari penyusup, kadang juga
bisa terjangkit pada kelopok esktrimis. Misal : para pejuang kemerdekaan.
5. Agresi
maternal : agresi perempuan/betina untuk melindungi anaknya dari ancaman
(agresi biologis/natural)
6. Agresi
paternal : agresi laku-laki/ayah untuk melindungi keluarganya.
7. Agresi
instrumental : agresi yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan. Agresi ini
dianggap sebagai respon yang dipelajari terhadap suatu situasi.
Jadi secara biologis dan evolutif (nature) manusia memiliki kecenderungan berperilaku
agresi, namun ada faktor penguat seperti proses belajar dan lingkungan (nuture factor). Selain itu menurut
Sigmund Freud, sejak lahir individu membawa dua insting yakni insting hidup (eros) dan insting mati (thanatos) yang harus diseimbangkan
untuk stabilisasi mental yang menghasilkan pilihan sikap yang bijaksana. Agresi
sebagai sebuah derivasi[1]
dari insting mati (thanatos)
saat id
(nafsu/dorongan untuk memenuhi kebutuhan naluriah), ego (unsur kepribadian yang bertanggungjawab memenuhi dorongan id
dengan realitas melalui pikiran sadar) dan
super-ego (unsur kepribadian yang menampung segala standart nilai dan
norma) tidak mampu melakukan kendali
dalam mengkaji dorongan individual tersebut. Insting mati (thanatos) yang bersifat nature
ini akan mampu berkembang pesat, diantaranya disebabkan oleh :
1.
Proses belajar sosial
Proses
belajar (learning) terjadi sejak
individu lahir hingga dewasa, dengan melakukan input beragam informasi hingga
menghasilkan pola tertentu. Menurut Bandura dalam learning social theory, individu belajar melalui proses pengamatan (observation) lalu meniru dan melakukan
identifikasi. Seperti eksperimen bobo-doll
yang dilakukan bandura, bagaimana seorang anak meniru orang dewasa melakukan
agresi dengan memukul-mukul bonekanya. Karena anak melakukan transformasi
sebagai representasi dari pengalaman proses pengamatannya. Bandura mengembangkan
model deterministic resipkoral yang
terdiri dari perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Menurut bandura proses
mengamati dan meniru orang lain merupakan tindakan hasil belajar. Teori yang
dikemukakan bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal
balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
2.
Penilaian kognitif
Informasi
yang diterima dari luar membentuk suatu kode-kode kognitif yang menjadi suatu
paradigma terhadap objek/fenomena tertentu. Maka akan terjadi proses
identifikasi. Words don’t mean; people
mean (Rakhmat, 2008). Menurut Gadne, bahwa dalam pembelajaran terjadi
proses penerimaan informasi kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran
dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi
kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal adalah keadaan dalam
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu, sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Maka
kematangan proses berfikir dengan terbentuknya konsep diri yang kokh menjadi
pijakan bagaimana individu mampu melakukan penterjemahan terhadap
fenomena/objek (words don’t mean but
people mean).
3.
Kesempatan, ruang dan waktu menjadi fasilitas luar biasa dalam
proses belajar sosial. Dalam teori belajar pavlovian, stimulus yang diberikan
berulang kali bisa diasosiasikan sebagai sesuatu (sistem instruksi) yang
dibentuk oleh stimulus itu untuk melakukan sesuatu. Sementara dalam teori
belajar skinner, manusia cenderung memilih sesuatu yang nyaman, menyenangkan
dan tidak menyakitkan. Kesempatan, ruang dan waktu mampu menjadi reinforcement (penguat) individu untuk
melakukan sesuatu.
4.
Frustasi
Menurut
Dollar dan Miler agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. Frustasi
terjadi apabila suatu harapan yang diinginkan tidak tercapai atau kenyataan
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam mencapai harapan itu pun bila
terjadi hambatan yang berat juga bisa membuat individu mengalami frustasi. Lalu
devend-mekanism bisa berupa
aktifitas-aktifitas destruktif.
Tawuran
Pelajar : Suatu Realitas yang Beralasan
Kasus tawuran pelajar SMAN 70 dan SMAN
6 cukup menggemparkan publik, saat media mengangkat dan banyak stakeholder
negeri ini angkat bicara bahkan hingga respon yang sangat reaktif. Bukankah
hampir tiap hari selalu ada saja tawuran pelajar dari yang kecil hingga tawuran
massal yang melibatkan banyak geng hingga sekolah. Lalu kemana saja perhatian
kita selama ini apakah terlepas begitu saja?
Beragam respon bermunculan dalam
menyikapi isu ini, saling menyalahkan dan menuduh sebagai pihak yang
bertanggungjawab dan harus mendapat sanksi hingga label “dosa”. Beberapa pihak
menganggap ini murni kesalahan habit pelajar yang sudah tidak terkendali, ada
pula yang mengatakan lemahnya pengawasan keluarga dan sekolah, lebih parah lagi
sistem pendidikan yang kurang memperhatikan masalah agama dan moral sehingga
perlu ditambah jam mata pelajaran agama dan moral.
Namun apakah juga bijaksana saat kita
menyalahkan pelajar “pelaku tawuran” tersebut? Dalam kasus apapun, cobalah
sedikit menanggalkan egoisme kita dengan tidak melihat kasus dari prespektif
pemerhati saja (outside actors).
Tetapi mencoba membangun empati dengan menggali dari prespektif pelaku. Bukan
justifikasi salah-benar, tapi mencari tahu mengapa hal tersebut sampai
dilakukan.
Jika kita lihat dari kajian teoritis
yang dipaparkan diatas, serta mencoba mengenal karakter pelajar (dalam rentang
usia remaja) yang memiliki karakteristik semangat dan ego yang tinggi,
memerlukan pengakuan publik, ingin mencoba, serta andrenalin pembuktian
tantangan yang besar. Harusnya pihak-pihak pemerhati mencoba menempatkan
dirinya pada posisi pelajar dengan benturan realitas kehidupan yang beragam.
Tak dapat dipungkiri kita perlu
mengetahui proses belajar sosial mulai dari keluarga, sekolah hingga lingkungan
bermain. Beban hidup yang berat seperti masalah keluarga, kedisiplinan yang
berlebihan, pola pendidikan yang otoriter, beban belajar/pendidikan, persaingan
label sosial, dll. Sementara media dan lingkungan membombardir dengan contoh
tindaka/sikap yang merujuk pada dekadansi moral, agresifitas para pejabat
publik dalam kerangka berfikir pragmatis, saling mencela dan menjatuhkan,
korupsi, pembohongan publik, serta masalah-masalah sosial lainnya yang
dilakukan oleh orang-orang dewasa. Belum lagi pelabelan anak nakal, anak bodoh,
sampah masyarakat, anak jalanan, preman, dll, semakin memacu adrenalin jiwa andolesen mereka (baca : pelajar) untuk
membuktikan bahwa mereka bukan manusia kelas kesekian yang juga perlu
diperhatikan dan pengakuan publik.
Tawuran pelajar sebagai salah satu
bentuk kenakalan remaja (juvenille
delinguency), merupakan bentuk replacement
(pemindahan) ataupun devent-mekanism
dari protes sosial baik disadari atau pun tidak disadari dalam alam pikirannya.
Otomatis di dalam proses kognitif individu maupun kelompok sosial tersebut ada
proses yang harus dibenahi, bukan semata-mata menyalahkan pelajar dengan
memberi label negatif.
Dengan demikian bukan berarti kita
memaklumi kasus-kasus juvenille
delenguency, ada upaya komprehensif
dengan menyadari peran dari masing-masing unsur yang tidak berjalan dengan
baik. Juga tidak elok apabila kita membiarkan tanpa memberikan sanksi apapun, sanksi
tetap harus ditegakkan sebagai proses pembelajaran sosial bukan hanya untuk
pelaku namun juga pelajar yang lainnya. Dengan adanya sanksi bukan berati
mengkebiri latar-belakang pilihan sikap/perilaku yang dipilih. Kasus seperti
ini merupakan hal sensitif yang harus diselesaikan dengan memahami masalah dari
beragam sudut pandang, bukan shock
lalu menanggapi dengan reaktif pula. Beberapa hal yang harusnya menjadi
evaluasi bersama, yakni :
1.
Mengembalikan
peran seluruh stake-holder sesuai dengan tugas peran dan perkembangannya.
Khususnya orang-orang dewasa agar tidak senantiasa melakukan tindakan/perilaku
yang menjadi contoh pembentukan identitas pelajar. Karena disadari atau tidak,
hal yang dilakukan berulang akan menjadi penguatan (reinforcement) dalam memory.
2.
Pengawasan
bukan dengan pendidikan yang otoriter, tekstual dan disiplin yang berlebihan.
Tapi bagaimana orang dewasa mampu menjadi sahabat bagi pelajar dan mengenali
dunianya. Karena dalam fase pencarian jati diri (identitas diri),
kelompok-kelompok pergaulan sebaya lebih kuat ikatan komitmen dan loyalitas
daripada ikatan formal (instansi keluarga atau sekolah).
3.
Pelajar
bukan sebagai objek kebijakan atau siklus kehidupan yang didominasi orang
dewasa, ajak mereka menjadi bagian yang perlu disadarkan dan menyadarkan (peer-education). Hal ini bisa dilakukan
salah satunya melalui sistem pendidikan (formal, informal maupun non-formal)
yang mengutamakan proses pendewasaan, pemanusiaan manusia, serta membuka ruang dialogis-partisipatoris. Karena apabila
konsep diri telah matang terbentuk fungsi super-ego akan mamapu berjalan
menjadi dewan pertimbangan ego untuk melakukan eksekusi sikap/perilaku.
Setiap manusia memiliki akal dan hati
dalam menggerakkan tubuhnya, sehingga melekat pada diri masing-masing individu
hak menentukan pilihan bersikap. Dan pilihan itu semua memiliki latar belakang
dan alasan (hukum kausalitas). Sehingga yang menjadi “PR” bersama bagaimana
agar pilihan tersebut sesuai dengan term,
hak individu tanpa mencerabut sisi-sisi kemanusiaan (human right) dan hak manusia lainnya.
Sudah saatnya pelajar pun perlu
dimengerti, dan pelajar pun harus bangkit dan menyadari bahwa merekalah yang
akan mampu merubah bangsa dan dunia ini.
PERJUANGAN PELAJAR TIDAK AKAN BERAKHIR!
§ Danik Eka Rahmaningtiyas
adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM);
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

0 Komentar