Sebagai contoh kecil dalam dunia musik
yang sedang dilibas habis oleh fenomena “girl-band” dan “boyband” yang terinspirasi
dari korean-music (K-pop), walau istilah ini sebenarnya juga aneh karena di
dalamnya tidak ada yang bermain alat musik/band bahkan kemampuan menyanyi-pun
pas-pasan sehingga lipsing jadi jurus andalannya. Cukup wajah yang menawan
(dalam prekpektif kapital sebuah produk) dan gaya maksimal, ditambahi sedikit
kemampuan dance sebagai bumbu setiap kali performancenya. Ternyata dunia musik
hanya menjadi alat yang diacak-acak untuk melakukan penetrasi stigma baru
memaknai sebuah eksistensi. Pergeseran makna-pun terjadi, misal cantik itu
harus putih, tinggi, langsing, rambut ala korea, fashionpun begitu. Sehingga
pemilik modal terus menawarkan inovasinya untuk membuat seseorang berubah
menjadi “cantik”. Serasa mati gaya kalau lagi kongkow tidak paham dengan
pengetahuan seputar SNSD, SuJu, dll.
Budaya populer atau sering kita sebut
sebagai budaya pop merupakan suatu totalitas ide, prespektif, perilaku, citra
dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama
sebuah budaya. Budaya pop menyentuh kebutuhan “kemanusiaan” dalam lingkup id
(libido, hasrat, ambisi, dll), sederhana dan mudah dicerna, sehingga cepat
diterima oleh masyarakat.
Dalam perubahan sosial apakah yang
bersifat konstruktif ataupun destruktif, peran kapital menjadi sentral baik
dari segi ide maupun propagandanya. Begitupun dengan budaya pop, kekuatan modal
dan pemilik modal menjadi sutradara “budaya” itu mau dibawa kemana. Masyarakat
cukup menerima dan memilih saja. Sasarannya sudah jelas, kelompok-kelompok
manusia yang jumlahya banyak dan mudah terprovokasi.
Perempuan dan Remaja
menjadi objek yang menarik
![]() |
| sumber : google.com |
Wacana tentang perempuan dan remaja
dalam arus euphoria budaya pop menjadi sebuah konflik objek yang rentan dari
pemakluman dalam struktur psikologi dan sosial. Apalagi saat prespektif modal
sangat bersifat patriarki dan dewasa, ada relasi kuasa yang dibentuk atas dasar
kepentingan privat yang dikemas sedemikian cantik.
Sudah menjadi kodrat perempuan selalu
ingin tampil menarik untuk diperhatikan sementara laki-laki adalah pemerhati
dan penikmat apa yang ditampilkan oleh perempuan. Hukum alam inilah yang
dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemilik modal. Coba lihat apa hubungan antara
mobil, rokok, pelumas kendaraan, dll dengan cewek seksi? Yang jelas pemilik
modal memberi analogi sesuatu yang menarik dari produk itu. Belum lagi
produk-produk yang khusus ditujukan untuk perempuan, seolah-olah ingin
menyampaikan “jika ingin menarik perhatian laki-laki maka beli dan pakailah
produk ini”. Titik-titik sensitif inilah yang dimanfaatkan oleh pemilik modal
untuk membangun relasi kuasanya.
Sementara remaja-pun menjadi objek tak
kalah seru untuk diperbincangkan dalam meraup untung. Ada kebutuhan eksistensi
yang sangat tinggi, pengakuan lingkungan sosialnya bahwa dia ada, serta
modeling menjadi konsep diri yang belum ditemukan. Menurut Csikszentimihalyi
dan Larson, (1984:19) menyatakan bahwa remaja adalah “rokonstruksi kesadaran”.
Masa remaja adalah masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap
sebelumnya, baik dalam perkembangan kognitif (Piaget), moral (Kohlberg), maupun
perkembangan seksual (Freud).
Masih menurut Csikszentimihalyi dan
Larson menyatakan bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya
proses perubahan kondisi entropy dan negantropy. Entropy adalah keadaan dimana
kesadaran manusia masih belum tersusun rapi walaupun isinya sudah banyak
(pengetahuan, perasaan, dsb), isi-isi tersebut masih belum terkait dengan baik,
sehingga belum berfungsi secara maksimal. Entropy berarti keadaan tidak ada
pola tertentu dari rangsang (stimulus) yang diterima seseorang, sehingga
stimulus tersebut kehilangan arti.
Semetara negantropy adalah kondisi
berupa isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan
pengetahuan yang lain. Pengetahuan pun jelas hubungannya dengan perasaan dan
sikap. Manusia dalam keadaan negantropy dapat bertindak dengan tujuan yang
jelas sehingga memiliki tanggungjawab dan semangat kerja yang tinggi. Pada masa
remaja, secara bertahap disusun, diarahkan dan distrukturkan kembali sehingga
lambat laun terjadi kondisi negantropy.
Dalam kondisi entropy pada masa remaja
inilah yang dimanfaatkan oleh pasar, saat idola yang akan dijadikan figur
identifikasi sebagai konsep diri belum ditemukan serta saat iternalisasi
pengetahuan dan keyakinan belum juga terjadi maksimal. Sehingga beragam hal
baru yang menarik silih berganti menawarkan sesuatu sebagai pilihan yang tak
kunjung usai.
Menikmati dan terbawa
arus
Bak spirit volounteerisme
(kesukarelawanan sosial) tanpa ada instruksi dan merasa terintimidasi dari
luar, remaja berbondong-bondong secara massal seperti ada instruksi otomatis
dalam dirinya untuk menjadi bagian dari euphoria budaya pop ini untuk mencapai
eksistensi. Mereka hidup dalam dorongan diri yang terkonsolidasi dari stimulus
propaganda tersebut, membutuhkan “manfaat” konkrit dari tiap budaya pop itu
apalagi kalau bukan kesenangan dan pengakuan eksistensi keberadaan diri oleh
masyarakat.
Kesadaran essensif menghilang dengan
munculnya pragmatisme diri, sebenarnya dimana letak pragmatisme manusia yang
tersentuh oleh euphoria budaya pop ini? Hal itu muncul saat titik
libido/hasrat/nafsu (id) manusia menguasai hati dan rasionalitas atas nama
kemanusiaannya. Dalam piramida hierarkhi kebutuhan manusia Maslow, kebutuhan lahiriah seperti makan, minum, dan seks adalah
kebutuhan dasar apabila tidak terpenuhi akan terjadi permasalahan dalam diri.
Tetapi selanjutnya dorongan dari kebutuhan dasar tersebut apabila diaktualisasikan
tanpa ada pertimbangan dari norma diri, norma sosial dan keyakinan akan
menimbulkan permasalahan baru. Banyak orang yang menerima penghargaan
kondisional (dari pemakluman kebutuhan kemanusiaan) yang malah menciptakan
konflik.
Karena euphoria budaya pop ini bersifat
massal, seolah-olah seseorang yang melawan arus sebagai kelompok minoritas ini
adalah profil abnormalitas. Sebagai contoh, remaja yang tidak update dengan
life-style baru, tampilan cupu, si kutu buku dianggap anak kampungan yang memang
tidak patut diajak dalam pergaulan sosial. Sepertinya sangat memalukan jika ada
remaja yang tidak pernah nonton konser musik. Atau kelompok-kelompok aktivis
yang jelas-jelas dituntut harus sosiable dalam melakukan aksi kepedulian
sosial, oleh kelompok massa (pengikut budaya pop) dianggap manusia asing yang
tidak menikmati masa remajanya.
Eksistensi yang merdeka
atau terjajah
Bagi diri yang sehat, penghargaan
positif seperti cinta, perhatian, rasa hormat, dan penerimaan dibutuhkan. Alasan
mendasar remaja mengikuti arus budaya pop adalah pemenuhan eksistensi itu oleh
publik tentang keberadaan dirinya. Mereka merasa merdeka jika memiliki
kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan dan maui, merasa bebas jika
bisa mengekspresikan diri tanpa terkekang oleh batasan norma & etika
tradisional. Lalu apa makna kebebasan jika yang ada malah mengabdikan diri pada
pemenuhan id dan terbatas pada pilihan yang ditawarkan oleh pasar, tidak mampu
melampaui batas alam dan lingkungannya, terperangkap dalam konsensus yang
menguntungkan kelompok tertentu saja.
Manusia memiliki potensi untuk terus
tumbuh dalam diri individunya, bahkan mampu melampau batas konsensus alam dan
lingkungannya, manusia mampu bereksistensi dengan memanai diri tanpa takut adanya
stigma negatif karena melawan arus konsensus tersebut. Manusia pada posisi
manusia berkehendak, bebas dan bisa bertanggungjawab atas kepentingan dirinya.
Maka manusia bisa mengatur dirinya sendiri dan tidak perlu diatur oleh sesuatu
dari luar, bahkan Tuhan pun tidak perlu mengatur jika kita belum memiliki
kesadaran atas hal itu.
Maka, dalam penguasaan diri yang
ber-eksistensi yang merdeka maka kekuatan diri menjadi landasan utama dalam
menentukan pilihan layak tidaknya sesuatu untuk dilakukan untuk diikuti.
Waktunya berikan
perlawanan
Euphoria budaya pop yang melanda remaja
kita bukan lantas dibunuh dengan menghentikan dan melarang remaja untuk
mengikuti, tapi bagaimana penguatan personal sebagai penerima dan pengolah
stimulus itu dipersiapkan untuk mampu memilah sebagai konsekuensi kemerdekaan
individunya. Selain itu yang tak kalah penting adalah sistem dari institusi
formal dan informal dalam masyarakat yang perlu dipersiapkan untuk lebih “melek
budaya”.
Pembentukan
konsep diri
Seperti
paparan-paparan sebelumnya euphoria budaya pop terjadi karena konsep diri belum
tuntas dalam mengkomunikasikan stimulus yang datang. Komunikasi interpresonal
(diri) akan sangat mempengaruhi proses interpretasi stimulus menjadi sebuah
keputusan tindakan yang dipilih oleh individu tersebut. Hal ini dipengaruhi
oleh input-input informasi sebelumnya yang telah tersimpan dalam memory, konsep
diri (nilai) yang tertanam untuk menjadi bahan pertimbangan dalam interpretasi.
Oleh
sebab itu, apapun pilihan tindakan manusia tidak ada yang lepas dari proses
dialektika personal yang bersifat tafsir stimulus. Selanjutnya apakah
intepretasi tersebut menjadi sebuah sikap mampu menjadikan individu itu merdeka
atau terjajah pilihannya atas intervensi individu yang lain.
Pembentukan
konsep diri tersebut bukan sesuatu yang passif, dimana objek menerima bentukan
dari luar dirinya. Karena manusia adalah individu yang hidup dan bergerak dan
berkemauan. Victor Frankl menekankan
cara-cara bagi setiap orang dalam mencari dan menemukan makna personal dan
tujuan dalam hidup. Carl Rogers
menganggap manusia, “positif, bergerak maju, konstruktif, realistik, dapat
dipercaya, serta bergerak menuju aktualisasi diri.” Oleh sebab itu, pembentukan
konsep diri tidak semata-mata lahir sendiri tanpa ada pola atau terbentuk dari
bentukan orang lain.
Fritz Perls,
memfokuskan pada pola-pola dan percaya bahwa semua manusia memiliki kearifan
diri serta bekerja menuju kesatuan dan keutuhan. Perls menekankan bahwa kita
semua memiliki polaritas dalam diri yang harus diterima dan/atau
direkonsiliasikan. Orang berfungsi sebagai unit total dan totalitas diri
merupakan rangkaian proses yang dipelajari melalui interaksi individu yang
bersifat tetap dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Apa
sebenarnya konsep diri itu? Konsep diri sebagai suatu kesatuan nilai yang
berangkat dari pemaknaan dan pemahaman terhadap diri ideal, realitas dan
sosialnya. Jadi dalam konsep diri tersusun saat mampu mengkomunikasikan ideal
self, real self, dan sosial self. Bahasa agamanya, mampu mentransformasi
spiritualitas pribadi menjadi spiritualitas personal tentunya yang berpijak
pada bumi (realitas).
Konsep
diri akan terbentuk saat individu mampu mengenali siapa diri (who am i),
sehingga mampu berdamai dengan kelemahan diri dan mampu melejitkan potensi
positifnya (real self). Inilah penyadaran, bukan pemakluman atas kelemahan yang
akan menjadi dalih “tiada manusia yang sempurna” sehingga mencukup-kan “ini
saja, saya sudah bersyukur”. Oleh sebab itu nilai ideal itu juga harus tetap
dibangun, “terus belajar dan berusaha menjadi individu yang sempurna”.
Manusia
sebagai makhluk sosial, kemampuan mengenali diri dan mentalitas menjadi
sempurna saja tidak cukup menjadikan manusia mampu eksis tanpa terintimidasi
atau malah mengintimidasi. Kemampuan komunikasi intrapersonal inilah yang harus
juga terbangun, sebagai konsekuensi penyampaian ide individu terhadap
ruang-ruang interaksinya. Bukan menjadi pribadi yang arogan dan eksklusif, cukup
kita paham, berpendirian tak peduli orang lain mau bilang apa.
Dari
kematangan konsep diri itulah dharapkan menjadi ruang pertimbangan dalam
menerima stimulus budaya pop tersebut untuk tidak menjudge salah tanpa ada
alternatif pilihan lain atau ruang dialektika yang terbuka melahirkan stimulus
baru.
Pendekatan yang
lebih humanis
Remaja selain sedang dalam masa mencari eksistensi mealui proses-proses identifikasi, juga sangat antipati apabila dilarang dengan sifat menggurui dan judgement. Dari sinilah pendekatan orang dewasa yang terbuka dan bersifat dialogis-partisipatoris dalam mengkomunikasikan ide itulah yang harus dilakukan. Melibatkan peran aktif mereka, lebih banyak mendengarkan dan mencari tahu apa yang ada dalam benak mereka.
Secara
sederhana, stake-holder masyarakat harus melakukan pendekatan-pendekatan yang
humanis selain melihat remaja sebagai individu yang aktif mereka juga harus
menjadikan dirinya figur yang bisa di dengar dan menarik bagi mereka. Banyak
sekali kegagalan terjadi pada proses pendampingan komunitas, saat pendamping
hanya sekedar orang pintar yang punya ide untuk melakukan intervensi dan mengajak
untuk berubah.
Masuk
ke dunianya, pada dasarnya suatu kelompok akan
merasa terancam saat ada orang baru apalagi yang jelas-jelas berbeda mungkin
kontradiktif dengan nilai yang dianut kelompok tersebut. Pengetahuan kita
tentang mereka, prespektif kita menjadi mereka akan membuat kita nyaman
berbicara menjadi mereka. Tentunya dengan menanggalkan stigma-stigma negatif
yang muncul tanpa ada proses interaksi secara langsung.
Berbicara
tentang hobinya dan nikmati bersama, sambil dalam proses komunikasi yang tulus
kita temukan beragam wacana baru yang sederhana berkaitan dengan kemauan dan
keinginan mereka. Lalu lakukan perbandingan tanpa melakukan pembandingan.
Mereka
hanya ingin diakui, di dengar bahwa mereka ada. Tanpa dihakimi dan menyalahkan
mereka yang “salah pilih”, ini sejalan dengan konsep pendidikan profetik Kuntowijoyo yang menjunjung tinggi 3
pilar :
- Humanisasi. Memanusiakan manusia berdasakan prinsip kemanusiaan bukan sekedar pada sudut pandang manusia atropocentris yang berpusat pada manusia sendiri seperti kata Descrates “cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada), tetapi melihat manusia dalam sudut pandang teocentris, ada kekuatan metafisis berbasis keyakinan dan keimanan yang mengadakan manusia menjadi diri yang dimanusiakan dan memanusiakan manusia yang lain. Spirit humanisasi berbasis kemanusiaan teocentris sebenarnya untuk menjawab masalah masyarakat yang semakin bimbang, seperti : dehumanisasi dari objektivitas formal (seperti istilah : cerdas, lulus, salah, benar, nakal, dll); agresifitas; hingga privatisasi individu atas individu yang lain (loneliness).
- Liberasi. Kemerdekaan suatu individu yang bertanggungjawab, pada prinsipnya kemerdekaan itu saat tidak menindas kemerdekaan individu lain.
- Trancendent. Sebagai dasar dari kedua unsur diatas (humanisasi dan liberasi), yang menempati superstruktur dari kesadaran atas ide, keyakinan, religi, ideologi, ilmu dan hukum. Superstruktur terbangun kuat dalam memenuhi basis material (struktur), yang secara spesifik lebih pada pemenuhan kebutuhan hidup (system ekonomi).
Prinsip linearitas inilah yang disebut kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Memahami sebenarnya letak budaya (dalam makna budi dan daya manusia) ada sebagai alat pelaksana ide untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Budaya bukan kebutuhan, begitupun budaya-pop bukanlah kebutuhan remaja. Hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni eksistensi (pengakuan). Lalu apakah pengakuan itu sudah tepat?
Security media
Penyiapan pribadi yang kuat namun intervensi media masih tetap massif sepertinya juga sangat sulit melawan arus budaya pop ini. Kebebasan pers ternyata tidak pernah membiarkan manusia lepas mengembangkan potensi positifnya berdasarkan tugas-tugas perkembangan. Sebuah contoh konkrit yang memilukan, acara-acara musik yang jelas-jelas sasarannya adalah anak muda dipilih jam tayang pada pagi hari yang harusnya digunakan untuk belajar dan bekerja. Sekolah berbondong-bondong datang di acara live musik yang tayang di pagi atas dalih kunjungan media. Sangat jelas ada regulasi polecy yang salah sama sekali tidak berpihak pada human development.
Selain itu masih banyak tayangan hiperbolis yang selalu menampilkan potret remaja yang identik dengan bersenang-senang dan hedonis, coba lihat berapa persen tayangan media yang mengangkat berita para aktivis remaja yang menumbuhkan budaya volounterisme dan beragam prestasi dunia yang diukir oleh mereka. Padahal setiap hari tidak pernah absen generasi muda kita berkiprah dalam hal-hal positif. Alih-alih jadi topk pemberitaan yang berharap jadi figur idola remaja yang bisa diikuti, jadi topik runing teks media saja sudah sangat beuntung sekali.
Lalu siapa yang berhak melakukan regulasi kebijaka media ini? Atau memang polecy pemerintah sudah tidak memiliki kuasa, karena sudah jelas walau Indonesia menggembar-gemborkan sebagai negara Demokrasi Pancasila tapi kapitalisme pasar sangat mengcengkeram kuat. Pemilik modal jadi penguasa, swasta jadi penguasa media dan rating tertinggi di dapat mereka. Apalagi yang dicari selain kata untung dan balik modal, persetan dengan mentalitas generasi muda bangsa.
Arus budaya tidak dapat dihentikan, tapi bagaimana menyiapkan manusia-manusia yang tahan dan tangguh melawan gempuran budaya hingga mampu memilah dan menawarkan suatu isu baru tentang budaya tanding untuk mentalitas dan kualitas anak negeri yang lebih manusiawi.


2 Komentar
jadi diri sendiri berpegang teguh pada syariat Ilahi (salam kenal : http://miftahrf.blogspot.com/)
BalasHapusnice post...
BalasHapuskunjungi balik blog-ku yah... http://hidayah03.blogspot.com/