Oleh : Danik Eka Rahmaningtiyas
“Karena fashion
(pakaian) merupakan cara yang paling signifikan dalam mengkonstruksi realitas
dan relasi sosial.”
Apa yang anda pikirkan saat melihat wanita mengenakan
jilbab/hijab/kerudung? Hijab/jilbab sebagai sebuah identitas keagamaan yang
diikuti pula oleh serangkaian konsekuensi mulai dari keyakinan hati, tutur
hingga laku. Ada fenomena luar biasa peragaan fashion theologis ini (baca :
hijab) oleh orang-orang yang terjerat kasus hukum. Sebut saja Wa Ode, Neneng
Sri Wahyuni, Nunun Nurbaiti, Angelina Sondakh, sopir maut Apriyani, Maharani,
Dipta Anindita, dan sederet nama-nama lainnya yang semakin menjadi “juru
bicara” dari fashion theologis ini.
Sebagai umat Islam, sangat bersyukur sekali semakin maraknya perempuan-perempuan berjilbab dengan segala perbedaan prosesnya. Yang menyesakkan saat hijab terhempas dengan kehilangan essensi dari hijab itu, serta konsekuensi integralitas dalam diri penggunanya. Hijab sebagai fashion theologis adalah media komunikasi publik hasil metafora dari sistem nilai yang ada. Menurut Thomas Carlyle, pakaian adalah perlambang jiwa. Fashion dimetaforakan sebagai kulit sosial yang membawa pesan dan gaya hidup komunitas tertentu yang merupakan bagian dari kehidupan sosial.
Hijab sebagai perlambang jiwa dan sebuah metafora dari nilai membawa kita pada tarik-menarik persepsi yang berbeda dalam memaknainya. Karena kulit sosial itu sebenarnya menampakkan sesuatu yang tidak mampu disampaikan secara harfiah baik oleh individu maupun kelompoknya. Ada banyak unsur yang berkecamuk dalam beragam persepsi mulai dari dinamika psikologis individu, menarik simpati publik, hingga dipolitisir menjadi konspirasi prejudice simbol-simbol agama. Segala sesuatu yang telah ada di pikiran kita, yang kita inginkan, kehendaki, sangka, dan butuhkan serta pengalaman masa lalu menentukan persepsi (wilcox, 2006 : 107). Bisa jadi apatisme simbol-simbol agama tersebut dikarenakan ada harapan perseptual yang tak terpenuhi oleh obyek visual.
Hijab dalam Konflik
Psikologis
Hidayah datang pada siapapun, kapanpun, dimanapun, dan dalam
kondisi apapun. Dalam setiap kasus-kasus hukum pasti akan bedampak psikologis
pada orang-orang yang terjerat di dalamnya, karena terjadi konflik mulai dari
tataran interpersonal hingga intrapersonal. Konflik yang tidak dapat dikuasai
akan mengakibatkan stress pada individu. Stress sebagai fenomena psikofisik
dapat memberikan pengaruh baik positf maupun negatif, tergantung bagaimana
stress itu dikelola. Sebagai sebuah pengalaman yang disadari lalu diambil
hikmah atau malah menjadi pemicu depresi hingga psikosomatis seperti insomnia,
migrain, magh akut, tekanan darah tinggi, hingga stroke. Sehingga tak ayal
banyak orang yang terseret kasus hukum tiba-tiba terserang penyakit fisik
padahal tidak memiliki riwayat penyakit tersebut sebelumnya.
Fenomena hijab yang dikenakan oleh orang-orang yang terseret kasus hukum ini, bisa dianggap sebagai defense mechanismsdari konflik psikologis individu yang mengalami stress. Mungkin itulah kenapa Karl Marx menyebut agama sebagai candu dan memiliki unsur ekstasi. Menurut para psikolog dalam buku Personality Psychotherapy (Wilcox : 2001) ada 2 orientasi religius, yakni : ekstrinsik, yang menyediakan status dan rasa aman; sertainstrisik yang berisi internalisasi, integrasi, yang menjadi pribadi holistik pada individu. Dalam kasus ini orientasi ekstrinsik-lah yang ingin dicapai dari ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan. Selain itu merupakan upaya menarik simpati publik melalui identitas diri sebagai individu yang juga memiliki simbol religiusitas, atau hanya sekedar menutupi wajah dari sorotan publik dengan kain lebarnya. Walaupun toh dalam beberapa kasus riwayat diri pemakaian fashion theologis tersebut hanya saat terjerat kasus hukum saja.
Konspirasi Pelecehan
Simbol Agama
Mencoba memahami “pelaku” dalam prespektif humanistik oleh
masyarakat teryata tidak dapat diterima begitu saja saat realitas itu berulang
dilakukan oleh hampir setiap orang-orang yang terjerat kasus hukum serupa.
Apalagi simbol-simbol theologis adalah hal sensitif yang akan menarik pada
politik sektarian. Fenomena (baca : stimulus)
yang berulang tersebut menjadi sebuah reinforcement
(penguatan) dalam memori masyarakat bahwa ada konotasi terhadap simbol
tertentu. Akhirnya muncullah prasangka (prejudice)
yang menjadi aspek destruktif perilaku manusia.
Realitas-realitas tersebut seolah menunjukkan, “saya muslim!”
yang terseret dalam berbagai kasus hukum. Belum lagi didukung oleh berbagai
kasus yang semakin menyuramkan
simbol-simbol theologis, seperti muslim fundamentalis yang dikonotasikan
teroris, kasus korupsi oleh Parpol berlabel Islam yang selalu menyerukan halal-haram,
dll. Seolah itu serangan bertubi-tubi semakin merendahkan Islam &
simbol-simbolnya yang dilakukan oleh penganutnya sendiri. Hal ini bisa menjadi
bahan menarik yang bisa dimainkan oleh pihak-pihak yang “benci” terhadap
Islam.Yang membahayakan apabila konspirasi prejudice
tentang fashion theologi ini menjadi sebuat steorotype,
bukan sekedar apatisme bahkan hingga ke praktek-praktek diskriminatif pada
simbol agama.
Sangat wajar apabila terdapat beragam persepsi yang muncul
dari “pemakluman” kemanusiaan hingga kekhawatiran adanya bangunan konspirasi
pelecehan simbol agama dari fenomena fashion theologis yang ditampilkan di
publik oleh orang-orang yang terjerat kasus hukum tersebut. Karena fashion
(pakaian) merupakan cara yang paling signifikan dalam mengkonstruksi realitas
dan relasi sosial.
Semoga jilbab yang dipakai itu bukan sekedar menjadi orientasi ekstrisik, namun juga sebuah orientasi instrisik yang menjadi awal dari taubatan-nasuhah. Rasa penyesalan yang bukan sekedar tampak dengan penampilan penuh derita tapi upaya perbaikan yang tak melecehkan simbol-simbol agama sebagai kedok defense-mekanisme atas diri yang malah merasa terdzolimi oleh hukum yang ditegakkan. Semoga fenomena ini bukanlah kedok yang berujung pada konspirasi pelecehan simbol agama. Jalan awal proses perubahan atas penyesalan untuk profil muslim yang bertanggungjawab, sebagai upaya kontributif perubahan yang lebih baik untuk nusa dan bangsa.
https://news.detik.com/kolom/d-2183737/politisasi-jilbab--pelecehan-simbol-agama
https://news.detik.com/kolom/d-2183737/politisasi-jilbab--pelecehan-simbol-agama

1 Komentar
knp d hapus????
BalasHapus