Distrust Rakyat pada Elit, Integritas yang Dipecundangi

Sumber Foto. Pinterest Cali
Pro-kontra yang terjadi dalam kasus suap impor daging sapi oleh oknum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memunculkan beragam spekulasi berdasarkan politik kepentingan yang menggiring publik bersikap skeptis atau curiga akan konspirasi elit. Seolah seperti dua hal yang akan diperhadapkan antara integritas KPK dan politik "moralis yang diusung PKS.

Kasus korupsi sapi oleh mantan Presiden PKS, Luthfie Hasan Ishaaq (LHI) yang mencuat, seolah menenggelamkan isu skandal pajak keluarga SBY yang diangkat oleh salah satu media ibukota. Hal ini memperkuat opini konspirasi elit dalam melakukan penyerangan dan menghilangkan kasus kronis dalam memory masyarakat. Pemberitaan headline media yang terus-menerus hanya terfokus pada kasus LHI semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap partai Islam, mungkin akan sangat berpengaruh pada elektabilitas parpolnya karena mau tidak-mau saat “politik simbol” yang digunakan kesalahan seperti apapun dianggap fatal. Walaupun tidak menutup mata, banyak parpol lain yang melakukan kesalahan yang tak kalah sedikit tetapi dianggap “lumrah” karena konsekuensi pilihan branding yang diusung.

Skeptisme masyarakat terhadap partai Islam yang akut semakin memperkuat wacana-wacana tentang konspirasi isu global tentang penjatuhan nama Islam. Hingga asing-pun terindikasi campur tangan dalam “mengolah” kasus ini. Masyarakat yang semakin arogan (terlepas ditunggangi oleh elit lain atau tidak), melakukan penyudutan secara berlebihan terhadap PKS. Seperti pencoretan papan nama PKS, munculnya akronim-akronim di jejaring sosial, dll. Menjadi kurang bijaksana, menghakimi dan justifikasi melalui “nila setitik” hingga rusak susu sebelanga.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus diserang dengan mempertanyakan integritas kinerja dan independensinya. Saat dengan mudah menciduk LHI dan menetapkan tersangka, sementara kasus-kasus sebelumnya belum diselesaikan juga seolah tak ada kemampuan karena ada relasi kuasa. Seperti kasus bank century, BLBI, Wisma Atlit dan Hambalang, dll. Masyarakat seakan digiring untuk semakin berspekulasi tentang kejanggalan konspirasi antara KPK dan Istana.

Politik simbol mungkin itu yang sangat menyesakkan dan merusak citra nilai ideologi yang dibangun sebagai nilai ideal. Mungkin inilah dimensi jeda antara realita dan idealita yang menuntut wise (kebijaksanaan) element masyarakat yang plural. Words don’t mean; people mean (Rakhmat, 2008 : 49), simbol itu seolah benda mati tak bermakna namun saat manusia memberi pemaknaan yang tinggi sebagai sebuah harapan idealita namun terbentur oleh realita yang berbeda melahirkan sebuah konflik “mean” alhasil distrust itulah yang muncul sebagai konsekuensi konflik interpersonal yang digiring massal. Distrust inilah yang akan melahikan skeptisme dan arogansi sosial.

“bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan” –Otto Von Bismarck- tak ayal dari pernyataan tersebut, ada serigala berbulu domba. Ada pengunaan brand simbol ideal untuk meraup kekuasaan. Agar tak jadi kelompok yang arogan, memilih skeptis dengan mimpi melangit, seperti hopeless! memilih opsi tidak percaya, tidak memilih, dan akhirnya tidak peduli. Pesimis yang fatalistik.

Move on! Selalu sekedar berfikir konspirasi hanya alibi pihak-pihak yang merasa jadi “korban”, akhirnya tidak akan pernah ada benang yang terurai jika semua berkedok konspirasi. Justifikasi yang berlebih itulah yang dihindari, apalagi hingga melihat oknum sebagai representasi kelompok (toh, seringkali yang ditemukan oknum-oknum tersebut bukan single-fighter).

Posting Komentar

0 Komentar