BAHARUDIN ROSYID : Sang Penunjuk Arah


Oleh : Danik Eka Rahmaningtiyas

KETEGANGAN DI AWAL PERTEMUAN

Forum pertama bertemu dengan sosok Abah adalah saat Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kabupaten Jember sekitar tahun 2005 di Universitas Muhammadiyah Jember. Abah, begitu saya memanggil bapak Baharudin Rosyid yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Jember. Dalam forum tersebut saya sebagai peserta, perwakilan dari organisasi otonom Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah (PD IRM) Kabupaten Jember bersama mas Ulul Azmi Rizal selaku Ketua Umum PD IRM Jember.

 

Mungkin saya terlihat tengil, anak perempuan masih SMA interupsi di forum orang-orang dewasa. Bahasa saya agak keras layaknya aktivis muda yang masih berapi-api. Saya menanyakan tentang databased tanah waqaf Muhammadiyah, manajemen organisasi, hingga transparansi penggunaan inventaris Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi pimpinan. Beliau memberi respon yang menenangkan layaknya seorang ayah kepada anaknya, mencoba memberi pengertian. Namun si anak ini sepertinya kurang puas dan agak ngeyel.

 

Pasca kegiatan Musyda tersebut banyak sekali perbincangan di lingkungan Muhammadiyah hingga di ranting-ranting. Bahwa ada anak IRM perempuan gak punya sopan-santun, interupsi di Musyda Muhammadiyah. Hingga berakibat suasana hubungan antara IPM dengan Muhammadiyah agak sedikit kaku. Namun saya pikir wajar di dalam sebuah organisasi, lah wong dalam keluarga saja juga sering ada dinamika seperti ini.

 

Sekitar satu bulan pasca Musyda, saya datang ke rumah abah untuk mengantarkan surat permohonan narasumber Taruna Melati II – kebetulan saat itu saya menjabat sebagai Ketua Perkaderan di PD IRM Jember.

 

“Pak, saya Danik dari PD IRM Jember.” Saya memulai percakapan.

 

“Saya tahu. Saya suka anak berani. Dan berani juga datang kesini.” Canda beliau mencairkan suasana. Lalu dilanjutkan memarahi saya tentang adab hingga menjelaskan detail interupsi saya saat Musyda Muhammadiyah tersebut. Berbeda sekali dengan respon beliau di forum Musyda. Dari sini saya semakin hormat pada beliau, akhlaq seorang pemimpin tidak pernah memarahi ataupun menjatuhkan anak-anak yang sedang berkembang di depan umum.

 

“Anak-anak saya banyak...” Lanjut beliau, lalu menceritakan tentang anak-anak beliau yang telah sukses dengan penuh kebanggaan orang tua.

 

Setelah berbicara panjang hingga lebih dari satu jam, saya menyampaikan beberapa hal kepada beliau.

 

“Abah, saya mohon maaf… cara saya menyampaikan kritikan saat Musyda Muhammadiyah kemarin.” Ucap saya tulus, dan pertama kali memanggil beliau abah.

 

“Dasar anak keras kepala. Minta maaf caranya saja?” ekspresi beliau datar dengan logat Madura.

 

“iya bah.” Jawabku sambil tersenyum.

 

Abah tertawa, lalu kami tertawa bersama-sama. Saya pamit undur diri, beliau mengatakan “InsyaAllah sukses nak.”

 

 

KADER KINTHILAN

Selain sebagai orang tua yang tidak pernah memarahi/menjatuhkan mental anak-anaknya (sebutan untuk kader-kader muda Muhammadiyah) di depan umum, abah juga orang tua yang selalu memberi panggung bagi anak-anaknya untuk berkembang.

 

Setiap beliau mengisi pengajian ke cabang-cabang Muhammadiyah bahkan ke daerah lain, Abah selalu mengajak kami. Memperkenalkan di depan forum hingga memberi waktu untuk naik podium, bahkan kepada saya seorang anak perempuan. Tidak ada perbedaan ruang bagi kader laki-laki atau perempuan dalam menggembangkan diri. Hal ini semakin memperkuat nilai-nilai egalitarian di dalam tubuh Muhammadiyah. Dan semakin mendorong saya untuk terus berkiprah dalam perjuangan yang setara.

 

Bagi kami anak-anak muda yang sedang belajar, bisa diajak dan dikenalkan kepada warga Muhammadiyah secara langsung oleh tokoh yang disegani merupakan suatu kebanggaan luar biasa. Apalagi sampai diberi waktu untuk naik podium. Satu hal yang tidak akan terlupa, abah selalu memberikan apresiasi positif setiap setelah kami naik podium kepada orang-orang di sekitarnya.

 

Kaderisasi yang matang tidak hanya terbentuk dari proses kaderisasi formal saja, tetapi juga menjadi ‘kader kinthilan’ yang melakukan belajar sosial karena melihat sebuah nilai bukan hanya dibicarakan tapi juga dilakukan.

 

 

JOGJA-JAKARTA: CENDEKIAWAN ATAU ORANG BESAR

Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah dilaksanaan bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah 1 Abad di Yogyakarta pada tahun 2010. Sebelumnya mengikuti Muktamar tersebut, saya silaturahmi ke rumah abah. Saya bercerita bahwa saya direkomendasikan oleh Pimpinan Wilayah Ikatan Palajar Muhammadiyah Jawa Timur untuk maju sebagai calon formatur Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

 

Abah antusias sekali, beliau bercerita meskipun warga Muhammadiyah Jember tidak banyak tapi kualitas kader-kadernya tidak kalah dengan kader-kader tingkat nasional. Hanya saja mentalitas petarungnya yang masih kurang. Terlalu menikmati ribut-ribut di kandang sendiri.

 

“Dunia itu luas Dan, kembangkan sayapmu keluar. Waktunya regenerasi, jika kamu tetap disini jadinya malah akan mengintervensi adik-adikmu. Itu gak sehat. Karena kandangnya cuma disini-sini saja.” Kurang lebih begitulah pesan abah padaku.

 

Benar-benar menampar realitas. Seolah seperti bibit yang telah tumbuh besar di persemaian, seharusnya ia dipindahkan ke lahan yang lebih luas. Bukan dibiarkan di tempat persemaian, dia akan mengganggu pertumbuhan calon bibit-bibit lainnya. Karena merasa lebih berpengalaman, akhirnya mengintervensi si calon bibit – bibit lainnya untuk tumbuh sekedar menghabiskan nutrisi. Padahal secara alamiah di setiap persemaian akan tumbuh dan berganti mengikuti waktu dan prosesnya masing-masing.

 

-------------------

Pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah telah selesai. Putusan-putusan telah dihasilkan oleh para muktamirin, hasil konsideran masing-masing ortom dibawa dalam agenda pembacaan hasil putusan Muktamar Muhammadiyah di Gedung Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

 

Saat acara masih berlangsung, saya menerima sms dari abah. Kurang lebih isi sms beliau: abah bangga dengar namamu, terpilih. Saya terharu dengan pesan singkat yang abah kirim tersebut. Saya berterimakasih kepada beliau dan mohon izin untuk bersilaturahmi saat kembali dari rangkaian acara Muktamar di Yogyakarta.

 

-------------------

Saya bersilaturahmi ke rumah abah sekaligus mohon izin akan hijrah dari Jember dalam mengemban amanah sebagai salah satu formatur hasil Muktamar IPM di Yogyakarta. Beliau bertanya, saya akan berkantor di Jakarta atau Jogja? Saya menjawab, saya berencana akan berkantor di jl. Ahmad Dahlan Yogyakarta. Alasanku saat itu juga karena ingin melanjutkan kuliah magister Psikologi di UGM, tentu saja biaya hidup lebih murah dari Jakarta. Selain itu jarak Jogja-Jember lebih dekat, jadi bisa sering-sering pulang. Iklim intelektual di Jogja yang kuat menjadi salah satu motivasiku, apalagi concernku dengan isu kaderisasi di persyarikatan.

 

Namun ternyata respon beliau berbeda. Abah bertanya, “kamu mau jadi cendekiawan atau orang besar?” tanpa menunggu jawabanku, beliau melanjutkan bahwa yang dibutuhkan seorang pelopor itu bukan hanya kecendekiawanan tapi juga pengaruh dan jejaring multinasional, Jakarta adalah pintunya. Beban saat berkiprah di tingkat pusat adalah kemampuan pengaruh yang harus dimiliki, bukan hanya untuk kampung halaman tapi juga banyak orang. Semakin kita mengepakkan sayap keluar akan semakin inklusif dengan perbedaan. Didalam organisasi tidak banyak orang yang terpilih menjadi pemimpin, kompetisi tidak hanya sekedar kemampuan tapi juga ada unsur keberuntungan nasib yang berpihak. Maka jangan nanggung-nanggung mengoptimalkan kesempatan itu. Bismillah berangkat!

 

 

DUA PESAN TERAKHIR

Ramadhan 2018, momen reflektif terdalam.

Mungkin hampir 4 tahun saya tidak bertemu dengan abah. Saat itu saya sedang berjuang, belajar dan meniti karir di Jakarta. Sebuah kota yang menurut abah akan mengantarkan saya menjadi orang besar. Iya abah, saya sedang memperjuangkan itu. Memiliki jaringan dan kekuatan agar bisa semakin banyak membantu orang.

 

Saya ingin mengirimkan parcel Ramadhan untuk abah meskipun tidak seberapa. Minimal mampu menyapa sebelum pulang ke Jember. Parcel tersebut diantar ke rumah beliau oleh adikku, Agus.

 

Abah sedang sakit di atas kasurnya, namun semangat beliau saat bercerita seolah melupakan rasa sakit yang dirasakan. Memorinya ternyata masih sangat kuat, menceritakan detail dan mengingat nama-nama orang. Sepulang dari rumah abah, adikku langsung mengirim pesan padaku  melalui wahatsapp bahwa abah kangen sekali dengan anak perempuannya yang ada di Jakarta. Kapan aku pulang ke Jember, abah ingin bertemu.

 

Saat aku lihat agendaku di Jakarta, ternyata agak luang. Entah apa yang menggerakkan, tanpa berpikir panjang aku balas: besok. Malam itu juga aku membeli tiket pesawat penerbangan pagi hari.

 

Sore itu aku bersama adikku bergegas ke rumah abah. Ternyata abah sudah tidak ada di rumah, beliau dirawat di Jember Klinik karena kondisi kesehatannya semakin turun. Tanpa berpikir panjang aku lansung meluncur meskipun tidak tahu, beliau dirawat di kamar nomor berapa.

 

Aku bertanya kepada receptionist Rumah Sakit, “Mbak dimana kamar Bapak Baharudin Rosyid dirawat?” sang perawat bertanya padaku, “anaknya?” ku jawab “iya”.

 

Ku telusuri lorong-lorong untuk mencari. Suasana rumah sakit masih seperti biasa, riuh tapi sendu. Aku berjalan menuju blok yang sederhana hingga tertuju di suatu kamar yang biasa. Ah mana mungkin abah disini, batinku. Satu kamar diisi dua orang pasien. Tapi nomornya benar. Aku mengintip ke dalam dengan mendorong sedikit ujung pintu, sepi. Hanya terlihat ujung kaki orang sakit terbaring. Lalu saat aku mencoba kembali ke lorong sambil berharap ada yang menjaga pasien lewat, tiba-tiba ada suara parau lelaki di usia senja memanggil, “Danik, anakku.”

 

Aku yakin itu abah. “iya abah” buru-buru aku jawab dan masuk ke ruangan. Perasaanku berkecamuk, hingga rasanya ada air mata yang ingin keluar tapi tertahan, tenggorokan tercekat, dan ngilu rasa di ulu hati.

 

Di hadapanku ini adalah seorang singa podium, tokoh agama yang berani, moderat, sangat terbuka dan disegani hingga tokoh-tokoh lintas agama. Di hadapanku ini bukan sekedar sosok pemimpin tapi juga abah bagi kader-kadernya, yang selalu mengajarkan cara menumbuhkan harapan dan perjuangan. Di hadapanku ini adalah sosok orang tua yang merindukan anak-anaknya datang dengan membawa kabar bahagia.

 

Kesederhanaan beliau sungguh mencabik-cabik hati ini, kamar terbaik, rumah sakit terbaik tentu sangat bisa untuk beliau yang sangat banyak berbuat untuk Muhammadiyah, gerakan Islam dan civil society di Jember. Namun yang beliau pilih, cukup dan sangat secukupnya.

 

Beliau membuka percakapan, “Abah lihat kamu di TV One. Bagus.” Air muka beliau benar-benar membuat aku ingin bercerita hal-hal yang ku temui, seperti yang abah bayangkan sebelum aku memutuskan ke Jakarta sebagai tujuan tempat hijrah saya. Tapi saya tidak boleh bercerita terlalu banyak karena kondisi kesehatan jantung beliau tidak memperbolehkan beraktivitas, berbicara, bahkan tertawa terlalu banyak.

 

Aku menyampaikan bahwa benar yang dulu abah bilang, ambil resiko dengan berangkat ke Jakarta untuk menjadi orang besar. Saya bersyukur sekali banyak pesan dan tempaan abah yang membentuk saya saat ini.

 

Seperti saat beliau masih sehat dahulu, abah senang bercerita bahkan mengingat detail nama. Kata abah paling ingat sama yang ‘meler-meler’ (nakal/bandel), ya kamu Danik. “Trus itu ulul sekarang kemana, ada satu lagi Ace. Hari, Agus IPM. Hahaha….” Abah tertawa lepas, meskipun tak selepas seperti dulu.

 

“Danik, abah senang sekali melihat kamu di TV.” Ucap abah sangat antusias. Berkali-kali kalimat itu diucapkan. Setiap obrolan apapun selalu saja kalimat itu muncul.

Ibu (istri abah) beberapa kali bertanya, “abah istirahat?” sambil merapikan sprei dan selimut. Melihat abah yang sangat antusias, ibu ikut menyimak obrolan dengan tidak kalah antusias namun teduh.

 

Saya mencoba memberanikan diri interupsi, “Abah jika lelah istirahat ya.”

 

“Iya” jawab abah sambil menunjukkan bagian perutnya yang sakit, “…ini sakit”.

 

“Semoga lekas membaik ya abah.” Jawabku.

 

Abah terdiam sebentar, tatapannya menerawang. Lalu kembali menatapku, beliau mengatakan keinginannya. Jantungku berdetak lebih cepat, entah apa yang ku rasakan.

 

“Wong Muhammadiyah ojo tukaran (orang Muhammadiyah jangan bertengkar).” Suara abah agak gemetar.

 

Deg. Aku diam dan tetap menyimak, berusaha menenangkan gemuruh di hatiku. Ternyata selama ini beliau benar-benar mengikuti semua pemberitaan dan kabar. Dengan suara yang penuh penekanan, abah terus berbicara. Beliau tidak ingin melihat antar-kader bertengkar menjatuhkan, merasa paling benar dan paling ‘Muhammadiyah’. Harusnya saling membesarkan, saling mendukung meskipun kiprahnya di luar berbeda. Muhammadiyah itu tempat semaian kader, diasporanya untuk umat manusia lainnya.

 

Tekanan suara abah mulai menurun, lalu beliau mengatakan:

“Danik, abah ingin orang Muhammadiyah muncul di TV.” Lalu beliau melanjutkan… “Abah nonton kamu di TV one, TV Jember, apalagi ya… kalau ada kabar kamu di TV, langsung abah tonton.”

 

Aku coba mengolah kalimat-kalimat yang abah katakan, sebenarnya pesan apa yang ingin abah sampaikan. Abah mengatakan juga menonton Pak Kusno di Jember TV, tapi masih sedikit orang Muhammadiyah yang muncul. Padahal menurut beliau orang Muhammadiyah Jember juga tidak kalah pintar.

 

Aku melihat wajah beliau tampak sangat lega setelah menceritakan semua uneg-unegnya. Saya izin pamit, agar abah bisa beristirahat. Saya cium tangan beliau, lalu beliau mengusap kepala saya. Energi abah sangat kuat terasa seperti cambuk otokritik. Meskipun di usia senja yang bergulat dengan kesehatannya, ternyata jiwa keMuhammadiyahan abah masih sangat mengakar kuat. Peduli tanpa intervensi. Cinta tulus seorang Abah pada Muhammadiyah.

 

-----------------------

Setelah membesuk abah, saya bertemu dengan seorang kenalan di daerah Paiton – Probolinggo yang menjual sari buah mengkudu. Informasinya sebagai suplemen yang baik untuk perawatan dan masa penyembuhan setelah sakit berat. Aku membeli sekitar 12 botol untuk abah dan ibuku di rumah, nenek, bude yang sedang sakit gula, kakak sepupu pasca stroke dan abah Baharudin Rosyid.

 

Dini hari sampai rumah Ambulu, badan terasa lelah sekali. Aku tertidur sangat lelap, apalagi sedang tidak berpuasa. Keesokannya, aku bangun sekitar jam 10 pagi. Cuci muka dan mencari charger handphone.

 

Setelah terisi daya, handphoneku hidup. Pesan-pesan belum dibaca sudah menumpuk, bahkan pemberitahuan panggilan-panggilan tidak terjawab. Aku mulai membuka whatsapp yang berisi kabar duka. Innalillahi wa innailaihi roojiuun… Abah Baharudin Rosyid berpulang menghadap Sang Kuasa dan telah dikebumikan.

 

Terimakasih abah telah membawa banyak pesan kehidupan kepada saya. Pesan-pesan dan perjuangan yang mungkin adalah wasiat bagi kader-kader pesyarikatan lainnya. Terimakasih abah telah memberikan amanah sebagai penyambung pesan. Setelah berpulangnya abah, saya ingin menulis cerita ini. Ternyata tidak lah mudah, mencoba merangkai detail dan obrolan-obrolan yang membangkitkan emosi. Mengaktifkan kembali serpihan-serpihan memori.

 

Abah mengajarkan kita banyak sekali nilai dari awal pertemuan. Mengkritik dengan adab, tidak menjatuhkan lawan di depan umum. Memberi ruang bagi tunas baru untuk bersemi. Membesarkan hati anak-anaknya meskipun terjatuh. Tidak pernah mengintervensi, memberikan semangat dan dorongan pada setiap pilihan. Selalu menawarkan alternatif kemungkinan-kemungkinan.

 

Hingga di penghujung usianya, abah masih saja memikirkan tentang persyarikatan tercinta. Tetap bersatu meskipun berbeda kiprah. Mengepakkan sayap karena dunia ini bukan pekara di dalam persyarikatan semata.


Selamat jalan abah, hormat ta’dim dari anak ideologis yang sedang belajar berkiprah.

Posting Komentar

Instagram

DANIK EKA RAHMANINGTIYAS | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi