Ditulis: Danik Eka Rahmaningtiyas
ABSTRAK
ABSTRAK
Undang-Undang Organisasi Masyarakat (ormas) dilahirkan untuk menangani ormas - ormas bermasalah yang mengancam ketahanan bangsa. Namun sifat undang-undang yang memukul rata seluruh ormas yang ada menjadi instrument ancaman bagi seluruh ormas tanpa ada klasifikasi yang jelas, sehingga dapat melupakan peran dan fungsi partisipasi ormas dalam pertahanan bangsa. Tulisan ini disusun untuk membedah UU melalui tinjauan aspek-aspek psikologis pada ormas yang tersusun dari manusia - manusia yang memiliki hak dasar untuk diakui dan dilindungi, serta dampak negatif baik bagi masyarakat maupun Negara apabila aspek-aspek tersebut dikesampingkan. Dalam tulisan ini, saya menawarkan dua opsi yang sebenarnya saling terkait dalam kajian dan pendekatan UU Ormas kepada masyarakat agar lebih komprehensif, yakni : participatory democracy assertion dan Elaborated Social Identity Model (ESIM), yang dapat dievaluasi menggunakan tangga partisipasi Arnstein dengan target capaian pada citizen power.
PENGANTAR
Undang – Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakat (UU No. 17 Th. 2013 tentang Ormas) ditetapkan sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas (Lembaran Negara RI Tahun 1985 No. 44, tambahan Lembaran Republik Indonesia No. 3298). Undang – Undang ini dibuat sebagai alat kontrol pemerintah terhadap masyarakatnya yang berserikat dan berkumpul baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Meskipun pro-kontra terus terjadi, namun parlemen tetap mengesahkan UU ini seolah tak peduli suara tuntutan rakyat. Dengan dalih dinamika perkembangan ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pemerintah untuk mengesahkan peraturan dan pengelolaan ormas yang lebih komprehensif.
Penggunaan istilah ormas yang memukul rata keseluruhan bentuk masyarakat yang berserikat, bersifat lebih ke arah diksi politik daripada terma hukum. Di dalam terma hukum memiliki pengaturan spesifik berdasarkan karakteristiknya, contohnya seperti dalam UU Yayasan, UU Perkumpulan, dan UU Parpol.
UU ini menjadi alat kontrol pemerintah terhadap gerakan masyarakat yang sangat lentur, sehingga mampu menjadi legalitas pemerintah untuk bertindak ‘apa saja’ terhadap ormas yang dianggap sebagai ‘ancaman’ karena pasal-pasal di dalamnya yang multi-tafsir serta dalam penjelasannya tidak rigid merumuskan batasannya.
Komposisi UU ini jelas konradiktif antara gagasan pemberian apresiasi terhadap kontribusi organisasi masyarakat sipil yang dipaparkan dalam penjelasan umum dengan paradigma pengaturan struktural-formal yang dibangun dalam pasal-pasal utamanya. Pada paradigma yang dibangun ini tampak jelas bahwa ormas cenderung dilihat sebagai ‘ancaman’ daripada elemen potensi bangsa, hal ini dapat dilacak dari banyaknya aturan pembatasan serta sanksi pidana. Perumusan UU yang sangat lentur tersebut menyebabkan ormas harus tunduk pada rezim karena terancam sanksi dan penutupan sewaktu-waktu.
Dengan disahkannya UU ini jelas semakin memperluas area Kemendagri untuk melakukan yuridiksi kontrol. Hal ini tampak jelas dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan UU ini, khususnya pada : (1) pemberdayaan ormas; (2) teknis pendaftaran; serta (3) pemberian sanksi.
PERMASALAHAN UU ORMAS
Permasalahan pada UU ini karena sifatnya yang lentur sehingga melahirkan multi-tafsir rezim serta pihak-pihak yang berkepentingan. Tampak sekali pada pasal- pasal di dalamnya membatasi dengan batasan yang tak terbatas pada gerak organisasi masyarakat sipil. Pembatasan UU ini masuk hingga ke ranah domestik ormas bahkan sampai pada ranah hak-hak individu (hak asasi) yang semakin menunjukkan bentuk fasisme pemerintah. Jelaslah jika UU ini bukanlah sebagai terma hukum tetapi lebih pada produk politik. Sebagai contoh seperti yang tertuang di dalam Pasal 31 :
- Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas yang sama.
- Dalam hal pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk kepengurusan dan/atau mendirikan Ormas yang sama, keberadaan kepengurusan dan/atau Ormas yang sama tersebut tidak diakui oleh Undang-Undang ini.
Pasal tersebut bersifat sangat lentur serta tidak memiliki penjelasan karena dianggap sudah jelas, sehingga mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menjatuhkan dan menghambat aktualisasi pihak lain. Pasal ini dapat menjadi payung hukum politis yang semakin memberi ruang terbukanya konflik-konflik internal yang akan mengganggu stabilitas masyarakat. Sebagai contoh banyak bermunculan kepengurusan/organisasi tandingan illegal karena diberhentikan atau berhenti diikuti pula dihentikannya hak aktualisasi berserikat/berkumpul dari individu.
Selain itu kita juga dapat melihat dapat pasal 59 yang berisi tentang Bab Larangan, khususnya dalam ayat 4 :
Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Penjelasan : Yang dimaksud dengan „‟ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila‟‟ adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme.
Pada ayat tersebut melarang rakyat untuk melakukan aktivitas seperti diskusi atau bentuk lainnya mengkaji paham-paham selain Pancasila. Seolah-olah ‘Pancasila’ adalah sesuatu yang bersifat given, tidak dapat dilakukan proses dialektika, rakyat seolah dibungkam dengan cukup menerima tanpa banyak bertanya dan mengkritisi. Bukankah paham hanya sebuah kerangka untuk melihat suatu realitas dan strategi yang tepat mensejahterakan rakyat? Namun kerancuan yang terlihat pada penjelasan hanya terbatas pada ajaran ateisme, komunisme/marxisme-lenisme. Lalu dengan paham-paham lainnya bagaimana? seperti khilafah islamiyah yang seringkali meresahkan multikulturalisme Indonesia.
Kelenturan Pasal 21 UU ormas ini seringkali disebut sebagai bentuk pembatasan tanpa batas, dimana UU tersebut berbunyi seperti di bawah ini:
Ormas berkewajiban:
(a) melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;
(b) menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(c) memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;
(d) menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;
(e) melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
(e) melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan
(f) berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Pasal tersebut dianggap sudah jelas tanpa ada penjelasan lagi tentang batasan dari kewajiban yang seperti apa. Contohnya aksi masa seperti demo, orasi publik, kritikan, dll jika pemerintah tidak berkenan bisa dimasukkan pada poin b, d, atau f. Pada pasal ini juga terkait dengan aktivitas serta badan usaha yang didirikan oleh ormas harus mendapat izin tertulis dari pemerintah dengan batasan pada poin-poin tersebut yang multi-tafsir sehingga banyak badan usaha serta aktivitas organisasi masyarakat sipil yang terhambat, jika terpaksa dijalankan menjadi aktivitas atau badan usaha illegal.
Kotrol tak terbatas dari pemerintah kepada organisasi masyarakat melalui UU No. 17 Tahun 2013 ini jelaslah bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18 dan pasal 19, serta UUD 1945 Pasal 28.
UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 : Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan).
UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 19 : Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya).
Pasal 28C Poin (2) UUD 1945 : setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28E Poin (3) UUD 1945 : setiap orang berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
UU No. 17 Tahun 2013 tentang ormas ini berdampak pada upaya-upaya pembatasan hak- hak rakyat melakukan aktualisasi atas ide-idenya, gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan, hingga kritik terhadap kebijakan pemerintah. Tidak sadarkah bahwa ormas adalah salah- satu partner pemerintah, bagian dari Negara, dinamisator masyarakat. Telah banyak produk-produk organisasi masyarakat sipil yang mendukung kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia, sebagai contoh : lembaga pendidikan swasta, tidak cukup pemerintah saja memenuhi tugas pencerdasan kehidupan bangsa; kesehatan, sosial, bencana, dll.
Dari paparan diatas terdapat beberapa dampak permasalahan sebagai implikasi dari Undang-Undang tersebut :
A. Permasalahan Bagi Masyarakat
- Kebebasan berserikat sebagai hak dasar individu terhambat.
- Rendahnya dukungan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
- Membatasi partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan pertahanan Negara.
B. Permasalahan Bagi Pemerintah
- Menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
- Antipati terhadap pemerintah dan lembaga-lembaganya.
- Mendorong lahirnya pemboikotan, gerakan sparatis dan gerakan illegal lainnya.
ANALISIS KEBIJAKAN
A. Kebebasan Berserikat sebagai Hak Dasar Individu
A. Kebebasan Berserikat sebagai Hak Dasar Individu
Kebebasan dasar yang merupakan bagian dari konsep hak-hak asasi manusia, terutama dalam rumpun hak sipil dan politik adalah : kebebasan untuk berserikat/berorganisasi (freedom of association); kebebasan berkumpul (freedom of assembly); dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression). Ada banyak dasar hukum terkait tiga kebebasan dasar tersebut yang berlaku secara universal diantaranya : Pasal 20 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia; Pasal 21 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik; Pasal 5 huruf d angka viii Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, serta Resolusi No.15/21 Tahun 2010 tentang The rights to freedom of peaceful assembly and of association.
Kebebasan rakyat sebagai individu-individu yang merdeka seolah dikebiri dengan memberi batasan yang tak terbatas melalui UU No. 17 Tahun 2013. Individu tidak leluasa memperoleh ruang aktualisasi untuk berdialektika tentang ide-idenya, menyampaikan pendapat, berkreatifitas kelompok, serta melakukan kritik terhadap peraturan-peraturan yang melingkupi dirinya.
Seseorang akan memperoleh aktualisasi diri apabila aspek-aspeknya dalam Personal Orientation Inventory terpenuhi, yakni : inner-direction, time competence, self- actualizing values, existentiality, feeling reactivity, spontaneity, self regard, self acceptance, nature of man, synergy, acceptance of aggression, capacity for intimate contact (Warahime & Routh, 1974). Dengan memberikan pembatasan yang tak terbatas jelaslah aspek-aspek tersebut akan sulit terpenuhi. Rezim bisa dengan mudah membatasi bahkan melakukan pencekalan menggunakan dalih tafsir larangan-larangan dalam UU ini. Bagaimana keyakinan internal mampu menjadi ide yang dapat dikomunikasikan jika proses-proses ke arah tersebut sangat terbatas?
Tekanan-tekanan yang diberikan kepada rakyat dan organisasi sipil telah mencerabut hak asasi dari individu serta membunuh aspirasi-aspirasi konstruktif dari kekayaan sumber daya warga Negaranya. Seseorang akan merasa tertekan karena ada yang menganggu perihal sensitivitasnya, hal ini dapat menjadi suatu hal yang negatif bahkan destruktif apabila tidak ada dukungan sosial (Weary, Jordan, & Hill, 1985).
B. Undang-Undang sebagai Dukungan Sosial
UU serta segala macam bentuk kebijakan seharusnya menjadi instrument dukungan sosial bagi rakyatnya dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Pemberdayaan psikologis akan terwujud apabila dukungan sosial tersedia (Horvath, 1999). Sehingga masyarakat akan semakin berdaya apabila UU mampu memberi ruang serta aksesbilitas pengembangan diri. Namun apabila tekanan-tekanan terus diberikan maka perkembangan itu akan terhambat. Bahkan dalam kondisi yang semakin menekan, seseorang dapat melakukan upaya-upaya destruktif. Pada dasarnya aktualisasi sebagai sebuah kebutuhan dasar manusia yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya (Goble, 1980). Sehingga apabila ada penghambat dalam proses pencapaian aktualisasi berikut pula upaya untuk melawannya, apalagi yang berhadapan dengan UU adalah kelompok masyarakat jelaslah perlawannya semakin besar. Hal ini yang akan menimbulkan social distrust bahkan hingga ketidakstabilan sosial.
Individu atau kelompok yang mendapat apresiasi ruang serta kesempatan, akan merasa terberdayakan karena pengakuan atas kemampuan untuk meningkatkan produktivitas ide-ide serta penyelesaikan masalah-masalah kehidupan sosialnya. Dukungan sosial sebagai instrumen yang meningkatkan keberdayaan mampu menjadi stimulan peningkatan self efficacy. Individu yang memiliki self efficacy berarti memiliki penegasan terhadap kemampuan yang dimiliki serta memiliki keyakinan bahwa diri mampu melakukan pengelolaan sumber daya yang ada. (Cramer, Neal, & Brodsky, 2009). Self efficacy sebagai suatu sistem keyakinan untuk bertindak sebagai agen perubahan. (Cramer, Neal, & Brodsky, 2009)
C. Undang-Undang Nir-Partisipasi
Undang-Undang sebagai sebuah bentuk kebijakan publik disusun untuk menangggulangi permasalahan publik, konsekuensinya kebijakan publik seharusnya menjadi alternatif pemecahan masalah dengan kacamata publik bukan kacamata si pembuat kebijakan. Pemecahan masalah adalah elemen kunci dalam metodologi penyusunan kebijakan, oleh sebab itu merumuskan masalah faktual menjadi bagian penting dari pencarian solusi (Dunn, 1994). Seharusnya sebuah kebijakan dirumuskan tidak sekedar memukul rata suatu fenomena, tetapi harus melakukan klasifikasi yang ketat kebijakan mana yang tepat diberlakukan dalam batasan klasifikasi tertentu.
Menurut Udoji (1981) kebijaksanaan publik sebagai suatu tindakan mengarah untuk tujuan tertentu yang bersanksi pada suatu masalah atau kelompok masalah yang saling berkaitan serta memiliki pengaruh bagi sebagian besar masyarakat. Menurut Woll (1986) dalam pelaksanaannya terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasinya yakni :
- Adanya pilihan keputusan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat;
- Adanya output kebijakan yang menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pelaksana dan membuat regulasi dalam bentuk program/aktivitas yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat;
- Adanya dampak pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Indonesia sebagai Negara penganut sistem Demokrasi Pancasila, maka paradigma pembangunannya harus berpusat pada rakyat sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang sangat penting. Karena menurut Korten (1988) partisipasi adalah proses pemberian peran kepada individu bukan hanya sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.
Keterlibatan masyarakat dalam kebijakan/aktivitas baik pembangunan maupun pertahanan bangsa berimplikasi pada naiknya kepercayaan masyarakat (trustworthiness) pada pemerintah serta sifat mau mendengar (responsiveness) dari agen publik (pemerintah) dan nilai yang dimasukkan dalam sudut pandang yang berbeda dalam suatu lingkungan publik (Dunn, 1994). Keterlibatan masyarakat dapat mempengaruhi kepuasan (satisfying), comfortable (menyenangkan), convenient (tepat/cocok, tidak menyusahkan), and deliberative (pertimbangan yg mendalam) akan mempengaruhi transformasi positif kepercayaan. (Halvorsen, 2003)
Pada sebuah bentuk pastisipasi yang berkualitas akan ditemukan indikasi aspek-aspek spesifik seperti: expectation (harapan), responsive dan prestasi (performance) agen policy. Asosiasi yang positif dari aspek-aspek tersebut dapat menghasilkan toleransi pada keberagaman opini (Halvorsen, 2003). Partisipasi publik yang tinggi memberikan kontribusi positif pada efektifitas pelaksanaan dan legitimasi pembuatan kebijakan publik (Strivers, 1990).
Saat hak individu dalam berserikat ditekan, undang-undang sebagai bentuk dukungan sosial tidak berjalan, serta undang-undang malah menjadi instrument pembunuh partisipasi, ada ruang-ruang aktualisasi kemanusiaan yang hilang. Self efficacy masyarakat lemah serta meningkatnya social distrust. Hal ini yang mendorong opsi ketidakpercayaan kepada pemerintah hingga mengarah pada aksi-aksi destruktif (pemboikotan, sparatisme, gerakan illegal, dll). Undang-Undang yang semula diharapkan menjadi alat kontrol pemerintah malah menjadi pendorong yang mematikan fungsi controlling.
OPSI KEBIJAKAN
A. Participatory Democracy
Memberikan ruang kepada ormas lebih leluasa dalam aktivitas pembangunan dan pertahanan, karena pemberian ruang merupakan bentuk demokrasi langsung warga
Negara. Saat seseorang atau kelompok terlibat dalam suatu kesatuan agenda besar akan meningkatkan kepercayaannya pada agen-agennya.
Seperti eksperimen yang dilakukan oleh Halvorsen (2003) dengan test participatory democracy assertion, ditemukan bahwa keterlibatan masyarakat yang berkualitas dapat mempengaruhi kepercayaan pada agency (pemerintah) serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Halvorsen, setting yang digunakan adalah dengan menghadirkan partisipan dalam sebuah meeting (pertemuan), berdiskusi dalam sebuah perencanaan aktivitas publik dengan agency. Sementara dalam konteks UU Ormas ini, setting yang digunakan dengan memberikan ruang partisipasi ormas dalam perecanaan (penyusunan kebijakan), menyusun agenda setting serta partisipasi dalam proses pembangunan dan pertahan bangsa (aktivitas).
B. Elaboated Social Identity Model
Ormas seharusnya diposisikan sebagai partner pembangunan, bukan sebagai saingan apalagi ancaman. Jika kita mengkaji UU Ormas yang telah ditetapkan, disana tidak ada klasifikasi yang jelas pada penjelasan setiap pasal dalam memberikan batasan bentuk- bentuk ancama bagi Negara. Pasal-pasal yang bersifat lentur seolah tidak pandang bulu sehingga merugikan ormas yang hanya dianggap ‘membahayakan’ oleh rezim saja.
Teori Elaborated Social Identity Model (ESIM) memiliki dasar bahwa karakteristik psikologis tertentu menentukan perilaku sosial manusia (identitas). Peserta dalam sebuah kerumuman juga memiliki identitas/karakteristik kelombok kecil yang lebih detail (Drury, Reicher, & Stott, 2003).
Berdasarkan teori ini pemerintah tidak boleh memukul rata definisi ormas yang akan disasar oleh undang-undang, karena akan memposisikan ormas adalah ancaman, sehingga akan mengeluarkan energi pertahanan serta menangkal perlawanan yang cukup besar. Ada pembentukan klasifikasi yang ketat dengan kriteria dalam menentukan tindakan/sanksi yang akan diberikan, pemberian tindakan/sanksi pun sifatnya berjenjang/bertahap, serta memberikan perlakuan yang tepat bagi ormas yang tidak masuk klasifikasi untuk ditindak.
Idealnya kedua opsi ini dilaksanakan bersama-sama. Menurut tangga partisipasi Arnstein (1969), opsi pertama merupakan tingkat partisipasi level 7 – delegated power (pendelegasian kekuasaan) lebih tinggi dari opsi kedua yang berada pada partisipasi level 6 – partnership (kemitraan). Namun kedua-duanya sudah berada dalam tahap Citizen Power.
Dalam proses pelaksanaan opsi-opsi tersebut diperlukan judicial review (JR) atas UU Ormas yang sudah ditetapkan, sehingga ada ruang diskusi di setiap pasal dan pasal penjelasannya. Walau harus mengurai benang yang kusut namun bagi pemerintah akan memperingan proses pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Sementara efek dari UU dengan opsi-opsi tersebut mampu meningkatkan self efficacy ormas dan kepercayaan pada agency, sehingga dapat meminimalisir konflik dan menekan gerakan-gerakan destruktif yang merugikan Negara.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari analisis yang telah dipaparkan di atas baik dalam kacamata umum maupun psikologi, ada beberapa hal di bawah ini yang perlu dipahami bahwa :
- Undang-Undang serta kebijakan pemerintah lainnya adalah instrument dukungan sosial yang mampu meningkatkan keberdayaan masyarakat sehingga perannya sebagai agen perubahan dengan mengoptimalkan resources yang ada.
- Kekuatan masyarakat sipil yang berserikat harusnya menjadi sebuah sumber daya kekuatan Negara yang berbagi peran dalam pencapaian well-being.
- Undang-undang yang terlalu lentur akan melahirkan multi-tafsir dari rezim atau pihak - pihak yang berkepentingan lainnya sehingga rentan menimbulkan konflik serta pelanggaran Hak Asasi.
Dengan beberapa catatan tersebut di atas kami rekomendasikan :
- Pihak yang berwenang harus melakukan assessment ilmiah sebelum membuat kebijakan, bukan berdasarkan asumsi atau sekedar fakta masalah permukaan (impact masalah utama).
- Memberi ruang aktualisasi publik pada masyarakat bukan membungkam dengan peraturan tak terbatas.
- Pemerintah khususnya Kemendagri dan Parlemen segera melakukan riset tentang policy effect dari UU No. 17 Tahun 2013.
- Setelah dilakukan riset tentang policy effect dari UU No. 17 Tahun 2013, Presiden segera mengeluarkan peraturan baru yang lebih humanis dan demokratis menggantikan UU sebelumnya.
- Proses penggantian UU sebelmnya mempertimbangkan dua opsi untuk mencapai citizen power.
REFERENSI
Arnstein, Sherry, R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. JAIP, Vol. 35 p. 216-224.
Cramer, J. C., Neal, T. M. S., Brodsky, S. L. (2009). Self Efficacy and Confidence : Theoritical Distinction and Implications For Trial Consultation. Consoulting Psychology Journal : Practice and Research, 61(4), 319-339.
Dunn, W. N. (1994). Public Policy Analysis. New Jersey: Prentice-Hall.
Drury, J., Reicher, S. & Stott, C. (2003) Transforming the boundaries of collective identity: From the 'local' anti-road campaign to 'global' resistance? Social Movement Studies, 2, 191-212
Goble, Frank G. (1980). The Third Force : The Psychology of Abraham Maslow. United States : Pocket Books.
Halvorsen, K. E. (2003). Assessing the Effect of Public Paticipation. Public Administrator Review , 535-543.
Horvath, P. (1999). The Organization of Social Action. Canadian Psychology, 40(3), 221-231. Korten, D.C., (1988). Penyusunan Program Pembangunan Pedesaan: Pendekatan
Proses Belajar. Jakarta: Yayasan Obor
Strivers, C. (1990). The Public Agency as Polis : Active Citizenship in The Administrative State.
Administration and Society. P. 86-105.
Udoji, Chief J.O. (1981). The African Publik Servant as a Publik Maker, Publik Policy in Africa,
Africa Association for Publik Administration and Management. Addis Abeba.
Warahime, R. G., Routh, D. K. (1974). Knowledge About Self Actualization and The Presentazion of Self as Self Actualized. Journal of Personality and Social Psychologi, 30, 155-162.
Weary, G., Jordan S. J., Hill, M. G. (1985). The Attributional Norm of Internality and Depressive Sensitivity to Social Information. Jurnal of Personality and Social Psychology, 49, 1283-1293.
Woll, P. (1986). Constitutional Democracy. Second Edition. Boston-Toronto : Little, Brown and Company

Posting Komentar