Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, kecemasan kerap dianggap sebagai bagian wajar dari rutinitas. Namun, ketika kecemasan itu datang tiba-tiba, intens, dan membuat seseorang kehilangan kendali atas emosi maupun tubuhnya, kita tidak lagi berbicara tentang “sekadar cemas”. Kita sedang berhadapan dengan panic attack.
Panic attack merupakan kondisi ketika individu mengalami lonjakan kecemasan yang sangat kuat, sering kali disertai sensasi fisik seperti jantung berdebar, sesak napas, pusing, gemetar, atau rasa takut berlebihan akan kehilangan kendali dan kematian. Menariknya, serangan ini kerap muncul tanpa ancaman nyata, sehingga tampak irasional bagi penderitanya sendiri—namun terasa sangat nyata saat terjadi.
Akar Masalah: Bukan Sekadar “Kurang Kuat Mental”
Dalam psikologi, panic attack tidak pernah dipahami sebagai kelemahan pribadi. Sejumlah pendekatan ilmiah hingga sebelum 2011 menunjukkan bahwa gangguan ini bersifat multifaktorial.
Pertama, faktor genetik memainkan peran penting. Berbagai studi keluarga menunjukkan adanya kecenderungan panic disorder muncul dalam satu garis keturunan. Artinya, seseorang dengan riwayat keluarga yang memiliki gangguan kecemasan memiliki kerentanan biologis lebih tinggi.
Kedua, kepribadian dan pengalaman masa kecil, terutama yang bersifat traumatik. Individu yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan emosional, ketidakamanan, atau peristiwa traumatis cenderung mengembangkan pola pikir yang lebih sensitif terhadap ancaman. Perspektif ini sejalan dengan pendekatan kognitif Aaron T. Beck yang menekankan peran core belief negatif dalam gangguan kecemasan.
Ketiga, kumulatif stres. Panic attack jarang berdiri sendiri. Ia sering muncul sebagai “puncak gunung es” dari stres yang menumpuk: tekanan kerja, konflik relasi, beban ekonomi, atau kelelahan emosional berkepanjangan. Richard Lazarus, melalui teori stress and coping, menekankan bahwa stres kronis yang tidak diolah secara adaptif dapat memicu respons psikologis ekstrem, termasuk serangan panik.
Pendekatan Terapi: Mengubah Pikiran dan Menyeimbangkan Kimia Tubuh
Selama lebih dari satu dekade sebelum 2011, dua pendekatan terapi paling dominan dalam penanganan panic attack adalah terapi perilaku-kognitif dan terapi farmakologis.
Terapi Perilaku-Kognitif (CBT)
Terapi ini bertumpu pada rekonstruksi kognitif, yaitu upaya mengubah pola pikir yang keliru dan menakutkan. Dua hal utama yang dilakukan adalah:
- Menanamkan pikiran yang lebih realistis terhadap sensasi panik (misalnya, jantung berdebar tidak selalu berarti serangan jantung).
- Membangun cara berpikir positif dan adaptif, sehingga individu tidak lagi memaknai serangan panik sebagai ancaman fatal.
CBT terbukti efektif karena membantu individu merebut kembali rasa kontrol—bukan dengan menekan kecemasan, melainkan dengan memahaminya.
Terapi Obat (Pendekatan Biokimiawi)
Pada kondisi tertentu, terapi obat digunakan untuk membantu menstabilkan sistem neurokimia otak, khususnya yang berkaitan dengan dopamin dan regulasi suasana hati. Beberapa obat yang dikenal dalam literatur sebelum 2011 antara lain:
- Reserpine, yang menurunkan kadar dopamin;
- Tyrosine, amphetamine, dan bupropion, yang berperan meningkatkan kadar dopamin;
- Lithium, yang digunakan sebagai penstabil suasana hati.
Namun, penting digarisbawahi: terapi obat harus selalu disertai pengawasan ketat, meskipun dalam dosis rendah dan jangka pendek. Tanpa pemantauan progres, efek samping seperti hipomania atau gangguan lain justru dapat muncul dan memperumit kondisi psikologis individu.
Kapan Panic Attack Perlu Terapi Obat?
Tidak semua panic attack memerlukan intervensi farmakologis. Indikasi penggunaan obat umumnya muncul ketika kondisi sudah berada pada tingkat akut, ditandai oleh:
- Rutinitas harian dan fungsi kerja yang mulai terbengkalai;
- Kesulitan signifikan dalam membangun atau mempertahankan relasi dengan keluarga dan lingkungan sosial;
- Perasaan tertekan yang mendominasi lebih dari 50% waktu terjaga;
- Stres yang bersifat kumulatif dan tidak lagi dapat dikelola secara mandiri.
Dalam kondisi ini, terapi obat bukanlah “jalan pintas”, melainkan alat bantu sementara agar individu cukup stabil untuk menjalani proses psikoterapi.
Pemulihan: Proses, Bukan Keajaiban
Baik terapi kognitif maupun terapi obat hanya akan efektif jika dijalani secara konsisten dalam jangka waktu tertentu. Lebih dari itu, keberhasilan pemulihan panic attack sangat bergantung pada perubahan gaya hidup sebagai reinforcement: pengelolaan stres, pola tidur sehat, relasi yang suportif, serta kesediaan untuk mengenali batas diri.
Panic attack bukan akhir dari segalanya. Ia sering kali justru menjadi sinyal bahwa ada aspek kehidupan—emosi, relasi, atau ritme hidup—yang meminta untuk diperhatikan dan dirawat dengan lebih sadar.

0 Komentar