Agresifitas di Ruang Publik Khusus Perempuan


doc. tribunnews.com







"Ancaman pun ada di ruang khusus perempuan."

Sore itu hari Jum’at sekitar pukul 16.30 WIB, saya mencoba beberapa kali masuk ke Commuter Line jurusan Depok. Rutinitas saya setiap berangkat ke kampus. PT. KAI  menyediakan 2 gerbong khusus perempuan di setiap rangkaian kereta, diharapkan mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penumpang perempuan. Seringkali terdapat realitas berbeda, alih-alih mendapat keamanan dan kenyamanan, yang ada malah perasaan jengkel hingga situasi yang cukup membahayakan seringkali terjadi di gerbong khusus perempuan

Naik KRL jam berangkat dan pulang kantor memang menjadi waktu yang kurang manusiawi, pernah beberapa kali saya harus terbawa kereta karena penumpang naik berebut masuk hingga mendorong penumpang yang seharusnya turun. Penumpang yang akan naik dan turun saling dorong seringkali hingga mengakibatkan insiden saling umpat hingga bentrokan fisik. Bahkan ada penumpang yang sampai jatuh dan terluka. Saat berada di dalam kereta akan susah ditemui senyum dari para penumpang, emosi mudah meledak walau sekedar taks engaja tersenggol atau terinjak.

Banyak keluhan para pengguna KRL digerbong khusus perempuan, beberapa seperti yang dikutip pada berita-berita sebelumnya dalam Kompas News (8/08/2014), "Saya juga didorong, padahal saya sudah mau duduk. Akhirnya penumpang itu yang mendapatkan bangku," kata Rani. Diana (28), perempuan yang tengah mengandung lima bulan, mengungkapkan bahwa dia sering tidak diberi duduk oleh sesama wanita ketika bangku prioritas telah terisi penuh. "Mereka semua matanya merem dan pura-pura tidak melihat saya. Padahal saya sudah mengelus-ngelus perut," kata Diana.

Pada jam-jam padat seperti ini saya seringkali memilih naik di gerbong umum karena tingkat kepedulian pada perempuan lebih tinggi. Hal yang sangat menarik disini adalah kenapa egoisme dan agresifitas malah terjadi pada gerbong yang penumpangnya sama-sama perempuan? Bukan hanya di KRL saja, di busway, di antrian kasir, toilet umum, bahkan di tempat-tempat ibadah juga terjadi agesifitas sesama perempuan. Semakin runyam jika perilaku agresi tersebut mendapat respon agresi yang sama hingga kekerasan pun tak terhindarkan.

Apakah hal ini sebagai bentuk kompensasi perempuan atas status dan peran yang menuntut banyak hal? Seolah menjadi fenomena logika terbalik dari diksi “perempuan” yang cenderung ramah, penyayang, lembut, peduli tergilas begitu saja oleh perilaku agresi di tempat umum.

Agresifitas adalah setiap tindakan yang diniatkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, Sears, 2009). Pada kasus yang sering terjadi di ruang-ruang publik tersebut, agresifitas ditunjukkan baik dari verbal, non-verbal (tatapan jutek, cemberut, tidak tersenyum, melirik, dll) bahkan hingga tataran perilaku (menyikut, mendorong, menginjak, dll). Perilaku agresi diawali dari perasaan agresif seperti amarah (anger). Namun anger tidak selalu berujung pada perilaku agresif, karena tidak selalu perilaku adalah refleksi dari apa yang kita rasakan. Hampir tidak ada manusia tidak memiliki amarah dalam beberapa situasi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti serangan, frustrasi, ekspektasi pembalasan serta kompetisi.

Serangan (intrusi) dari orang lain mendorong seseorang melakukan tindakan agresi. Seseorang yang didorong oleh orang lain berkali-kali hingga ia hampir keluar dari gerbong, akan menimbulkan rasa kesal. Atau saat kita berhenti di lampu merah, diklakson berkali-kali oleh pengendara di belakang kita. Serangan-serangan inilah yang akan menimbulkan amarah.

Frustrasi disebabkan karena tujuan yang dicapai terhambat atau dicegah. Pulang kantor, tujuannya adalah sesegera mungkin sampai ke rumah bertemu keluarga. Karena kepadatan kereta dan penumpang saling dorong akhirnya tidak mendapatkan kereta yang bisa mebawa segera sampai rumah, sehingga dia juga akan berusaha memaksa masuk saat ada kereta datang. Menurut Taylor, et.Al, (2009), kehidupan keluarga menjadi salah satu sumber utama frustrasi. Problem ekonomi menghasilkan level frustrasi yang sangat tinggi dalam keluarga. Selain itu suhu lingkungan (panas, gerah, sempit, bising) pada ruang publik menimbulkan ketidak nyamanan dan kejengkelan sehingga meningkatkan ketegangan antar-personal.

Ekspektasi pembalasan. Orang yang merasa mampu balas dendam kemungkinan marah terhadap banyak hal lebih tinggi daripada orang merasa lemah (Taylor, 1992). Kemampan untuk membalas dendam tersebut bukan hanya ditujukan kepada sumber amarahnya, tetapi juga ditujukan kepada orang yang dianggap lebih lemah. Sebagai contoh seseorang yang mengalami stress dengan rutinitas rumah tangga namun tidak bisa meluapkannya kepada suami atau anak, stress dengan pekerjaan namun tidak dapat marah kepada bosnya. Sementara ditempat-tempat publik dimana seluruh penggunanya adalah perempuan yang dianggap setara, mendorong seseorang merasa mampu membalas setiap hal yang membuat marah. Tingkat agresifitas akan semakin tinggi apabila terapat fluktuasi dari berbagai jenis kemarahan yang tidak dapat diluapkan sebelumnya. Akhirnya agresfitas di ruang-ruang publik khusus perempuan menjadi bentuk kompensasi atas keberdayaan dirinya.

Kompetisi. Situasi kompetitif sering memicu pola kemarahan, perbantahan dan agresi yang tak jarang bersifat destruktif, sedangkan jika situasinya kooperatif, agresi jarang terjadi (Deutsch, 1993). Coba bayangkan apabila seluruh pengguna ruang-ruang publik khusus perempuan saling memberikan kesempatan, mematuhi peraturan, menghormati, maka keadaan akan semakin kondusif. Berbeda dengan situasi dalam iklim kompetisi, saling berebut, tidak mematuhi peraturan.

Konformitas, sebagai bentuk pengaruh lingkungan kepada individu untuk mengikuti perilaku seperti yang dilakukan oleh kelompok. Pengguna ruang-ruang publik adalah kelompok yang memiliki norma tidak tertulis, saat seseorang menggunakan ruang publik tersebut secara tidak langsung mengikuti pola yang sudah berjalan. Contoh : di stasiun saat kereta mulai mendekat, seluruh calon penumpang mendekat bahkan menginjak garis kuning (padahal dilarang) agar bisa memasuki gerbong dengan cepat; saat memasuki gerbong mendorongkan badannya ke dalam agar mampu menyelipkan badan serta memadatkan penumpang-penumpang lainnya sehingga ruang makin lapang. Perilaku ini diikuti oleh penumpang-penumpang lainnya.

Perilaku agresi ini sangat berbahaya jika sudah menular dan berubah menjadi deindividuasi. Deindividuasi terjadi saat kesadaran individu sudah hilang dan melebur di dalam kelompok. Hal ini dapat disebabkan oleh situasi baru yang kacau, serta kebisingan dan keletihan (Zimbardo, 1970). Dehumanisasi akan mengiringi proses deindividuasi. Dehumanisasi sebagai bentuk pengabaian dan penyepelekan kepribadian atau kualitas manusiadari orang lain. Ketika seseorang termotivasi untuk menyerang orang lain, apapun alasannya, mereka mungkin melakukan dehumanisasi dengan mengatributkan keyakinan dan nilai kepada target agresinya (Taylor, et. Al, 2009).

Serangan, frustasi, ekspektasi pembalasan, kompetisi, konformitas bukanlah variable bebas dari munculnya perilaku agresi. Variabel tersebut menjadi aktif apabila faktor penyebabnya juga aktif. Perempuan dilahirkan dengan tugas biologis dan sosial yang kompleks, harus mejadi anak, istri dan ibu. Belum lagi jika ada tambahan tugas sebagai pelajar atau pekerja di sektor publik. Kompleksitas inilah yang menuntut perempuan harus mampu melakukan manajerial terhadap tugas dan perannya. Apabila tidak mampu mencapai keseimbangan, akan menghasilkan reaksi yang membutuhkan kompensasi dari ketegangan yang dirasakan.

Ruang-ruang publik khusus perempuan sudah semakin meningkat, pelayanan pun juga semakin ditingkatkan dengan melarang selain perempuan menggunakannya. Namun tidak ada kesiapan penggunanya untuk tertib demi mencapai tujuan pengadaan semula, yakni keamanan dan kenyamanan. Pengguna disini adalah perempuan, selain ada budaya disiplin dan toleransi yang masih rendah. Seringkali faktor lingkungan menjadi salah satu alasan pemicu munculnya agresifitas. Seperti kemacetan, kebisingan, hingga suhu udara yang panas. Akhirnya kembali pada pertanyaan dimana letak kendali diri? Semua orang membutuhkan keamanan, kenyamanan dan tujuannya tercapai. Namun melihat orang lain adalah kompetitor untuk mencapai tujuannya, maka perilaku agresi akan muncul.

Saat ada kesadaran kooperatif bahwa fasilitas publik tersebut diperuntukkan dan dimanfaatkan bersama, maka antar-pengguna pun akan saling membantu agar pengguna yang lain dapat sama-sama memperolehnya. Hal terpenting yang harus dibangun oleh para pengguna adalah kesadaran kooperatif.

Selain dari sisi perempuan, hal lain yang mampu menjadi pemicu agresifitas adalah beban peran yang kompleks baik di ranah domestik dan publik. Oleh sebab itu diperlukan lingkungan kondusif yang mampu berbagi peran, tidak membebankan tanggung-jawab pada seorang saja (misal mendidik anak adalah tugas istri saja, suami tidak tahu-menahu dengan urusan dan kebutuhan rumah, atau pandangan bahwa yang berhak berkarier/berprestasi di publik hanya laki-laki saja). Selain itu varian-varian aktifitas untuk menghilangkan kejenuhan juga diperlukan, karena rutinitas mampu menimbulkan stress yang akumulatif dan agresi bisa menjadi salah satu bentuk kompensasinya. 

Saatnya kita mulai menciptakan situasi fasilitas publik yang kondusif dengan meningkatkan kesadaran kooperatif baik dalam memperoleh keamanan dan kenyamanan, serta kesadaran dalam berbagi peran dan berkarier publik.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. ada referensi atau dapusnya gak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di dalam artikel, pada setiap kutipan sudah ada keterangan penulis dan tahun terbit mbak. :)

      Hapus