Sampah sebagai Sumber Daya Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat



Oleh : Lies Diana Barhamana dan Danik Eka Rahmaningtiyas.*)
Dewan Pendiri EDAR Indonesia

Isu penanganan sampah tidak akan pernah lekang dimakan zaman, seiring dengan produksi manusia yang terus berkembang baik yang bersifat konsumsi maupun industri. Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2012 mencatat rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan 0,5 – 0,8 kg sampah per-orang per-hari. Di Jakarta setiap harinya diproduksi sampah kurang lebih 6.500 ton/hari. Berdasarkan data Dinas Kebersihan DKI Jakarta Tahun 2011 volume sampah yang dihasilkan 28.515 m3/hari, dengan sebaran : 87,90% sudah tertanggulangi dan 12,10% belum tertanggulangi.

Penanggulangan masalah sampah masih sebatas pada tahap pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan saja sehingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi nafas utama dari aktivitasnya. Sampah tetap menjadi sampah, dimana rantai kebermanfaatan dan nilai ekonominya sudah tidak ada tapi memiliki bentuk yang memerlukan ruang serta mampu mempengaruhi benda, makhluk hidup dan ekosistem lainnya dengan senyawa-senyawa berbahaya yang dimilikinya seperti gas methan (CH4), gas Karbondioksida (CO2), air lindi (leachate), dll.

Belum lagi bahaya timbunan sampah di lokasi TPA, tahun 2005 terdapat 32 orang meninggal dan puluhan orang tertimbun di TPA Leuwigajah Jawa Barat. Tahun 2006 terdapat 3 orang tewas di Bantar Gebang Bekasi. Timbunan sampah dalam jumlah besar dapat melepas gas methan (CH4) yang disebabkan oleh farmentasi aerobic, gas ini dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan mendorong peningkatan pemanasan global. CH4 berbahaya hingga 20x lipat dari gas CO2, dapat menimbulkan ledakan karena akumulasi panas yang dihasilkan. Sehingga fenomena yang sangat wajar saat terjadi longsor di TPA Leuwigajah, Kab. Bandung – Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh akumulasi panas yang akhirnya menimbulkan ledakan yang mengakibatkan longsor dan menimbulkan korban.

Pemusnahan sampah dengan jalan dibakar dapat melepaskan gas karbondioksida (CO2), menghasilkan debu dan hidrokarbon. Polutan ini selain mencemari udara juga menjadi salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik) dari senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik. Selain itu yang tidak sempurna pada sampah plastik tidak dapat mengurai partikel-partikel di udara yang akan menjadi dioksin. Jika terhirup oleh manusia dapat menyebabkan penyakit hepatitis, pembengkakan hati, kanker, gangguan sistem syaraf, dan depresi. Pada pembakaran potongan kayu juga menghasilkan senyawa formaldehyde yang juga membahayakan kesehatan manusia.

Pencemaran air dan tanah dari resapan air timbunan sampah (air lindi). Air lindi (leachate) membawa materi yang tersuspensi dan terlarut dari degradasi sampah.  Pada air lindi terdapat senyawa organik seperti : Hidrokarbon, Asam Humat, Sulfat, Tanat dan Galat); serta membawa senyawa anorganik seperti : Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium, Khlor, Sulfat, Fosfat, Fenol, Nitrogen dan senyawa logam berat. Konsentrasi senyawa-senyawa dalam air lindi ini mencapai 1000-5000 kali lebih tinggi dari pada konsentrasi dalam air tanah. Selain itu, timbunan sampah dapat menghasilkan gas Nitrogen dan Asam Sulfida, adanya zat Mercury, Chrom dan Arsen pada timbunan sampah dapat menimbulkan gangguan terhadap bio tanah, tumbuhan, merusak struktur dan tekstur permukaan tanah.

Dari uraian sebelumnya maka dapat kita pahami bersama bahwa penganggulangan permasalahan sampah hanya sebatas mengumpulkan-mengangkut-membuang di TPA kurang solutif karena masih akan menimbulkan permasalahan baru. Memang dampak negatif dari sampah ini tidak dapat dimusnahkan sepenuhnya, namun dapat diminimalisir dengan peningkatan “nilai” pada fungsi dan ekonomi dari sampah tersebut melalui prinsip 3R : reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang), sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012. Upaya tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah saja melalui UU atau PP yang disahkan, namun bagaimana seluruh stakeholder mampu berpartisipasi aktif karena Prinsip 3R tersebut merupakan ranah perilaku manusia yang harus dilatih dan dibiasakan menjadi kebiasaan. Setidaknya peran pemerintah sebagai ‘pemilik’ sistem, pembuat regulasi kebijakan, pemilik anggaran serta controlling pelaksana harus diperkuat sebagai sebuah paket manajemen yang integral dan memiliki payung hukum dalam penegakkannya.

Selain dampak negatif sampah pada kesehatan manusia dan lingkungan hidup, lingkungan kumuh juga mendorong mengingkatnya tindakan-tindakan kriminalitas dan pelecehan baik yang dilakukan oleh internal kelompoknya atau kelompok kelompok luar. Misalnya : pelecehan seksual, kekerasan pada perempuan dan anak, bullying, anarkhisme, dll.

Permasalahan sampah bukanlah hal yang sederhana, dia telah mengurita perlu penanganan yang tepat dengan segera memotong rantai masalah utama yang jadi embrio masalah-masalah turunan yang lebih kompleks.

Pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik, berpartisipasi, memperoleh informasi, serta  mendapatkan perlindungan dan kompensasi dari dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah adalah hak setiap manusia yang diatur di dalam Pasal 11 UU No. 18 Tahun 2008. Hak tersebut diperkuat oleh pasal sebelumnya yakni Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2008, bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

Pembentukan Perilaku Pendekatan Kebijakan
Perilaku yang terinternalisasi dalam individu tidak serta-merta muncul dengan dibuatnya peraturan bersama hadiah/hak dan hukuman/sanksi (reward and punishment), andaikan terbentuk pun akan cenderung melemah dan menghilang seiring ‘kebosanan’ serta ‘terlupakannya’ penegakan peraturan tersebut. Gage and Berliner menyatakan bahwa perubahan perilaku yang tampak sebagai hasil dari pengalaman (hasil belajar). Oleh sebab itu diperlukan penguatan (reinforcement) agar respon dari proses belajar tersebut semakin kuat, sehingga penegakan peraturan pun harus konsisten. Menurut Edwin Guthrie peraturan atau pun tugas yang diberikan jangan pernah diberi ruang untuk bisa diabaikan.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun Pavlov Skinner tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam proses pembelajaran pembentukan perilaku, hal ini dikarenakan :
  • Pengaruhnya bersifat sementara;
  • Dampak psikologis yang buruk akan menjadi bagian dari jiwa si terhukum, jika hukuman berlangsung lama (traumatic effect);
  • Dapat mendorong seseorang lebih kreatif untuk menghindari hukuman tersebut.
Peraturan adalah sebuah stimulus, dimana respon yang diharapkan adalah perilaku pengelolaan sampah. Menurut Thorndike ada tiga hukum utama dalam metode stimulus-respon (koneksionisme) ini, yakni : hukum efek (punishment); hukum latihan (aspek belajar) dan; hukum kesiapan. Ketiganya dapat memperkuat respon.

Selain itu kebijakan yang dikeluarkan sebagai sebuah peraturan publik sebaiknya terdapat komposisi ketelibatan masyarakat (partisipasi), melalui dengar pendapat ataupun menimbnagkan kearifan lokal (missal : perkampungan pra-TPA, keseharian masyarakat, dll). Keterlibatan ini juga diatur dalam Peraturan perundang-undangan diatur pada Bab X Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun rancangan peraturan daerah”.

Keterlibatan ini dimaksudkan agar terdapat keterlibatan aktif masyarakat pada proses pelaksanaan kebijakan dan legitimasi publik (Stivers, 1990). Partisipasi masyarakat terhadap peyusunan kebijakan-kebijakan publik mempengaruhi kepuasan (satisfying), comfortable (menyenangkan), convenient (tepat/cocok, tidak menyusahkan), and deliberative (pertimbangan yang mendalam) akan mempengaruhi transformasi positif kepercayaan partisipan (Halvorsen, 2003).

Program-program pembentukan perilaku melalui peratutan yang dapat dilakukan misalnya seprti : perusahaan sebuah produk berkemasan botol melakukan promosi penukaran 10 botol bekas produknya dengan 1 produk baru, membuang sampah sembarangan denda Rp. 500.000 (Pemkot. Bandung), kampanye penggunaan botol air isi ulang, penyediaan fasilitas pengisian air minum isi ulang di tempat publik, Duta Sampah di Sekolah Dasar atau Pendidikan Anak Usia Dini, dll.

Perilaku sebagai Pemenuhan Kebutuhan Manusia
Selain itu pembentukan kebiasaan sejak dini setidaknya mampu membentuk mentalitas serta konsep diri individu dalam berperilaku sesuai prinsip. Internalisasi prinsip tersebut dapat dilakukan melalui komunitas-komunitas informal seperti keluarga, lingkungan bermain, musholah, gereja, dll.

Upaya-upaya pendidikan serta pembiasaan perilaku pengelolaan sampah seringkali terganjal oleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang belum dapat terpenuhi dengan baik (baca : ekonomi-makan, red). Ungkapan yang sering muncul, “boro-boro mau bersih-bersih, mikir besok mau makan apa masih susah.” Menurut Clark Hull pada dasarnya setiap organisme akan melakukan tingkah laku yang langsung bermanfaat terutama dalam menjaga agar tetap bertahan hidup. Kebutuhan biologis (drive) dan pemuasannya (drive reduction) sangat penting menempati posisi sentral dalam seluruh aktivitas hidup manusia.

Oleh sebab itu, bagaimana kita membuat perilaku pengelolaan sampah sebagai sebuah perilaku dalam pemuasan kebutuhan biologis. Misalnya dapat digambarkan : kebutuhan ekonomi-makan (drive), perilaku pengelolaan sampah (drive reduction).  Orang dengan mengelola sampah dengan baik dapat memenuhi kebutuhan ekonominya, atau menjadikan lingkungan bersih dan sehat adalah kebutuhan dasar.

Strategi Pengelolaan Sampah Integral
Efektifitas suatu program pembentukan dan penguatan perubahan perilaku dalam pengelolaan sampah tidak dapat terlepas dari 3 hal yakni : service system, financing system, dan quality control. Salah satu permasalahan yang sering muncul pada program pengelolaan sampah adalah keterbatasan sumber pendanaan, diakibatkan karena sistem retribusi belum optimal, iklim kerjasama dengan swasta yang belum terbentuk, dan rendahnya komitmen penganggaran dari pemerintah. Permasalahan sistem pelayanan dan quality control dikarenakan program serta support ahli masih bersifat parsial.

Oleh sebab itu dibutuhkan suatu program strategis pengelolaan sampah integral yang berbasis pada komunitas serta dapat memenuhi kebutuhan dasar para stakeholder yang terlibat di dalamnya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa masyarakat kita masih menganggap lingkungan yang bersih dan sehat adalah kebutuhan tersier.

Target pertama dari program ini adalah dengan pengelolaan sampah yang tepat dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selanjutnya saat masyarakat merasakan bahwa peilaku/tindakan mereka adalah suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan tesebut, maka tujuan utama dari pengelolaan sampah akan terwujud.

Program strategis yang dapat dikembangkan dengan pendekatan komunitas bisa berbasis di Rukun Tetangga (RT), perkampungan, atau kompleks. Harus melibatkan seluruh anggota komunitas tersebut baik dalam latar belakang usia (anak-anak, remaja, dewasa, lansia), jenis kelamin (laki-laki, perempuan), atau hobi. Pemimpin kelompok serta tokoh masyarakat setempat juga harus terlibat aktif sebagai legitimasi program.

Sampah organik di Jakarta yang jumlahnya sebesar 67% dari produksi total sampah harian sebenarnya sangat potensial untuk budidaya dan penggemukan ternak (seperti domba dan kambing) melalui teknik fermentasi sisa-sisa sayur mayur, jerami atau batang pisang. Selain itu juga dapat diolah menjadi kompos, yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman di taman-taman komplek atau kota sehingga dapat mengurangi pencemaran tanah oleh pupuk kimia. Badan Pengkajian Teknologi Pertania (BPTP) DKI Jakarta telah menghasilkan pengelolaan sampah dengan metode pengomposan menjadi formula pupuk organik padat dalam bentuk pelet dan granul ("HPS Granular/HPS Pelet'), dan pupuk organik cair "HPS-1" (Harapan Petani Sejahtera).
Gas methan (CH4) yng dihasilkan oleh timbunan sampah organik juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembangkit listrik, seperti yang sudah dilakukan oleh Bu Risma - Walikota Surabaya menghasilkan 40.000 watt di tiga kecamatan.

Minyak jelantah seringkali oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab dijual ulang dengan proses penjernihan. Di kampung-kampung proses sering ditemui proses penjernihan minyak jelantah sederhana, salah satunya dengan cara memasukkan nasi ke dalam minyak jelantah yang dipanaskan. Minyak jelantah yang dipakai berulang-ulang dapat meningkatkan asam lemak bebas yang menyebabkan ketengikan dan meningkatnya gugus radikal peroksida dapat mengikat oksigen yang mengakibatkan oksidasi pada jaringan sel tubuh manusia. Jelas berbahaya untuk kesehatan manusia karena akan memicu kanker, artherosclerosis, penyakit jantung dan stroke. Akhirnya banyak sekali rumah tangga, restoran, pabrik, dll membuang minyak jelantahnya begitu saja, padahal jelas akan mencemari air, tanah, dan lingkungan sekitar. Minyak jelantah dapat diolah menjadi biodiesel melalui transesterifikasi yakni proses konversi trigliserida menjadi metil/etil ester, memanfaatkan reaksi antara minyak jelantah dengan alkohol untuk memutus tiga rantai gugus ester dari tiap cabang trigliserida.

Sudah banyak teknologi terkini dalam pemanfaatan limbah dan sampah menjadi produk yang memeiliki nilai manfaat serta ekonomi yang tinggi, seperti biogas, biodiesel, pulp kertas, biji plastic, dll. Selain itu pengolahan sampah dengan sentuhan kreatifitas individu juga mampu menghasilkan produk-produk berdaya guna.

Integralitas dan Konsistensi
Coba bayangkan jika dalam suatu kampung/komunitas seluruh anggotanya memiliki kesadaran pengelolaan sampah, kreativitas pengelolaan, penguasaan teknologi, sistem dan marketing yang kuat, tidak mustahil kualitas hidup seluruh anggotanya semakin meningkat. Meminimalisir pengeluaran untuk kebutuhan listrik, gas serta bahan bakar, taman-taman tumbuh subur dan indah, gizi terpenuhi dengan pasokan makanan sehat cukup (sayur mayur, daging, susu), pendapatan semakin meningkat (misal dengan produksi kerajinan, pulp kertas, biji plastik yang didistribusikan ke pabrik-pabrik, dll), tentunya lingkungan semakin sehat & indah.

Belum lagi jika ada supporting system yang menjembatani ke bidang kehidupan yang lain seperti kesehatan, pendidikan, bantuan hukum, ruang politik, dll melalui mekanisme asuransi, bank sampah, lumbung kampung, pusat inkubasi, serta strategi-strategi kreatif lainnya. Oleh sebab itu, bukan sesuatu hal mustahil untuk meminimalisir dampak negatif sampah menjadi sumber daya baru dalam mencapai kualitas hidup lebih baik.

*Artikel ini dipublikasikan dalam buku "Transformasi Sampah dan Limbah. Untuk Peingkatan Kualitas Hidup Bangsa" (2015)

Posting Komentar

0 Komentar