Vespa dan Empati Sosial





Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, mungkin itu pepatah yang tepat untuk menggambarkan kecintaan keluargaku pada vespa. Abahku pecinta vespa sejak muda menurunlah pada keempat anak-anaknya tentu dengan genre yang berbeda. Aku satu-satunya anak perempuan sekaligus anak sulung menyukai jenis vespa-vespa klasik. Pecinta vespa berarti harus berani belajar mengenal sistem permesinan vespa dan cara menaklukkannya. Karena vespa khususnya vespa tua itu fungsi pokoknya bukan sebagai alat transportasi tapi lebih pada life style jadi jangan heran jika sering kita temui si mesin kanan ini mogok di jalan hingga kabel kopling putus. Jangan khawatir kalau vespa tetep gak mau jalan, anak vespa itu berjuta saudara & solidaritasnya sangat kuat. Asal ada pengguna vespa lain yang melintas, kenal gak kenal pasti dibantuin. Kalau ada anak vespa yang individual, gak pedulian sama orang berarti dia baru belajar pegang vespa hehe….

Aku gak punya komunitas atau club tapi suka ikut gabung dengan siapa saja, genre apa saja karena kita akan menemukan teman baru, ilmu baru, cerita baru. Perempuan berkerudung hobi vespa suka touring & nongkrong tengah malam? Ya itu PR tersendiri yang harus dituntaskan karena sudah terlanjur banyak terbentuk stereotipe negatif di masyarakat tentang anak vespa. Dianggap liar, melawan kemapanan, suka mabuk-mabukan, pergaulan bebas. Sedih sekali saat tidak sedikit orang mengingatkan ibuku tentang hobi ini.

Beberapa touring singkat seperti keliling pulau Jawa, ke Sumatera, hingga ke Bali dan NTB pernah ku coba. Bahkan aku bersama teman-teman suka bikin acara bakso, pendampingan masyarakat & sosialisasi hidup sehat di daerah pedalaman menggunakan vespa sespan, kami menginap di rumah warga atau kantor desa. Walau temanya baksos kami agak menghindari konsep murni charity, karena kami ingin masyarakat tidak manja & ketergantungan. tapi dari apa yang kita berikan menjadi  pemicu untuk mereka meningkatkan kesejahteraannya.

Selain itu juga ada aktivitas di perkotaan yakni bazaar barang bekas, dimulai tahun 2006 dengan nama “MuBeKen” (Murah-Bekas-Keren) lalu 2015 ku ganti nama jadi CUCIHARTA. Konsep awalnya adalah teman-teman yang punya barang tidak dipakai disumbangin gitu aja seringkali tidak sesuai kebutuhan, jadi aku berusaha memilah dan menjualnya. Apalagi di kota lagi hits model-model bazar per-loved atau garage sale. Hasil diungkannya barang-barang tersebut kita jadikan bantuan yang memang dibutuhkan misalnya bayar SPP, pengobatan, membuat MCK, dll. Lalu apa hubungannya dengan Vespa??? Vespa tentu jadi daya tarik sendiri baik menarik pengunjung maupun teman-teman dalam gerakan ini.

Dengan vespa kita belajar tentang memperlakukan barang dengan cinta-kasih, paham seluk beluk & setiap lekuk body-nya sehingga kita bisa berempati saat pengguna vespa lain mengalami masalah dengan vespanya. Dengan touring kita menemukan hal-hal baru dan dekat dengan realitas, belajar kepekaan & tentu harus terbuka dengan hal-hal baru tersebut bahwa yang menurut kita benar tidak bisa menjadi kebenaran mutlak bagi orang lain apalagi memaksanya untuk mengikuti kita.

Bagi aktivis sosial dan pelayan masyarakat, kekayaan referensi realitas sosial, empati dan inklusifitas menjadi modal utama agar tidak arogan dan ‘bebal’. Akan tampak mana yang tulus atau pura-pura. Penilaian tanpa melihat, mendengar dan merasakan langsung jika dijadikan dasar untuk bertindak tidak akan menjadi solusi bahkan akan menimbulkan permasalahan baru. Ini bukan masalah kecerdasan tapi jam terbang, jadi semua orang bisa melakukannya.

Posting Komentar

0 Komentar