Kenapa Calon Psikolog Harus Belajar Psikologi Ulayat?

Ditulis: Danik Eka Rahmaningtiyas

Sumber Foto. Pinterest Redbubble

Menjadi psikolog adalah proses menjadi manusia yang terbuka bagi beragam identitas dan latar belakang individu atau kelompok tanpa menghakimi pilihan individu yang menyebabkan ‘sakit’ sebagai sebuah kesalahan. Setiap manusia memiliki skema masing-masing dalam peran kehidupan yang dilakoninya, skema tersebut dibentuk melalui proses belajar bukan ‘given’. Karena pada dasarnya manusia terlahir dalam keadaan netral, baik itu norma maupun sistem keyakinan.

Beridentitas adalah hasil bentukan dari orang tua dan lingkungan. Sehingga tidak terlepas dari value yang dipegang oleh orang tua serta lingkungan sekitarnya. Value tersebut bisa berasal dari agama/kepercayaan yang dianut, budaya, adat-istiadat, bahkan dari kesepakatan nilai personal yang dibentuk seperti integritas, pluralism, dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, sangat penting seorang calon psikolog mempelajari pijakan inklusifitas cara pandang, menggali lebih dalam motif dan latar belakang munculnya suatu perilaku. Agar tidak berhenti pada pertanyaan ‘what’, tapi menggali lebih banyak ‘why’. Paradigma seperti inilah yang dibutuhkan agar tidak terjebak pada stereotip atau stigma dari value yang melekat pada dirinya sendiri. Karena tugas psikolog membawa klien untuk menemukan dirinya, bukan menggiring pada pilihan sikap benar-salah menurut value yang dianut oleh sang psikolog.

PSIKOLOGI DAN PERKEMBANGANNYA

Pengertian ilmu psikologi sendiri berasal dari kata dalam bahasa Yunani. Psychology yang merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dimungkiri keberadaannya. Dalam beberapa dasawarsa ini istilah jiwa sudah jarang dipakai dan diganti dengan istilah psikis.

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia baik yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.

Psikologi bukanlah ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, karena manusia sebagai focus dan lokus kajiannya, maka segala hal yang terkait dengan aktivitasnya juga menjadi kajian yang wajib dipahami untuk memahami psikologi secara mendalam. Setiap kelompok, ras atau etnik, memiliki psikologinya sendiri yang relevan dengan konteks kehidupan masing-masing.

Seperti halnya Ecological System Theory memberikan sudut pandang sosial-psikologis yang serupa dengan analisisnya mengenai sistem mikro dan makro yang berhubungan dengan perkembangan manusia. Fokus utama Bronfenbrenner (1979) adalah  pada konteks sosial dimana anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak (Santrock, 2010). Esensi dari pemikiran tersebut menyatakan bahwa entitas yang dikaji sebagai seperangkat unit yang saling berinteraksi dan bukan entitas yang terpisah atau hubungan-hubungan sebab akibat (Sunberg, et.al, 2007).

Aliran Psikologi Gestalt menyatakan bahwa persepsi terjadi karena aktivitas minda, dan minda mempersepsikan stimulus-stimulus di sekitarnya sebagai keseluruhan. Itulah yang menyebabkan kera bernama Sultan, di laboratorium Wolfgang Köhler, mampu menyambung dua tongkat yang terpisah untuk meraih pisang di luar kandangnya (Köhler, 1975).

Kurt Lewin, mengembangkan teori Psikologi Gestalt ini menjadi teori lapangan atau medan (field theory). Dalam teori medan (Field theory) minda bukan saja aktif, melainkan berisi sistem kognitif yang berfungsi secara tertentu, mengikuti sistem tertentu, sehingga perilaku manusia bisa diprediksi, bahkan diintervensi, baik secara individual maupun dalam kelompok (Lewin, 1951).

Dalam perkembangan kajian ilmu psikologi, berkembang pula Psikologi Budaya dan Psikologi Lintas Budaya. Psikologi budaya adalah cabang yang tidak memisahkan minda dan budaya, sehingga sebuah teori yang dikembangkan dalam salah satu budaya belum tentu bisa menjelaskan gejala yang sama dalam konteks budaya lain (Sarwono, 2012).

Psikologi Budaya, berbeda dari Psikologi Lintas Budaya. Jika Psikologi Budaya mempelajari psikologi dalam konteks budaya tertentu (relativitas). Sementara Psikologi Lintas Budaya membandingkan antar budaya, apakah sebuah teori atau dalil psikologi berlaku sama di berbagai budaya yang bermacam-macam jenisnya (Sarwono, 2012). Sehingga perbedaannya adalah psikologi budaya mempelajari psikologi dalam konteks budaya tertentu (bersifat relativitas), dan psikologi lintas budaya mempelajari dalil psikologi yang berlaku universal.

Lingkungan dan budaya setempat sangat mempengaruhi pembentukan sistem nilai dan konsep diri pada individu dan kelompok. Sehingga diperlukan kajian mendalam tentang lingkungan dan budaya sebagai entitas yang tak terpisah dalam pola hubungan sebab-akibat suatu realitas psikologis. Pada tahun 1933 Uichol Kim dan John Berry mencetuskan istilah indigenous psychology yang didefiniskannya sebagai “studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Karena tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous”, maka dalam Kongres Ikatan Psikologi Sosial di Universitas Indonesia pada tahun 1999 dicetuskanlah kata “ulayat”.

RELEVANSI PSIKOLOGI ULAYAT DALAM PROFESI PSIKOLOG

Belajar psikologi ulayat merupakan salah satu upaya untuk mencapai kompetensi sebagai psikolog professional dan objektif. Terutama perkembangan psikologi kontemporer yang juga tidak terlepas dari perkembangan budaya. Inklusifitas cara pandang seorang psikolog akan semakin membantu dalam proses analisis hingga intervensi realitas psikologis, karena segala kemungkinan akan terjadi seiring kehidupan manusia di dunia ini yang tidak statis.

Menjunjung tinggi prinsip ‘human is uniq’ tidak akan mampu terbangun dengan baik apabila tidak memiliki referensi yang cukup tentang keragaman value yang membentuk manusia. Belajar Psikologi Ulayat bukan sekedar tahu dan berwawasan semata. Namun membangun kebijaksanaan bersikap, ketajaman analisis, serta kemampuan menyusun pola dari beragam variabel yang membentuk perilaku baik secara individual maupun komunal. Karena citra yang tampak seringkali hanya sebuah symptom kecil dari keseluruhan cerita individu.

Jika mengkaji lebih dalam proses belajar psikologi ulayat, tentu akan mampu meningkatkan beberapa kemampuan menjadi seorang psikolog yang objektif dan profesional, diantaranya: 1) Membangun paradigma inklusi; 2) Wawasan budaya; 3) Ketajaman pisau analisis; 4) Assessment dan perencanaan program; serta 5) Skill interpersonal.

Paradigma Inklusi

Dalam disiplin intelektual, paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (aspek kognitif), bersikap (aspek afektif) dan bertingkah laku (aspek konatif) (Vardiansyah, 2008). Dapat pula diartikan sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual. Paradigma sebagai sebuah pijakan, maka psikolog harus memiliki pijakan kuat yang membuka ruang kemungkinan-kemungkinan dari keragaman realitas psikologis. Inklusifitas tersebut tidak serta merta lahir tanpa ada pengetahuan serta kematangan diri dalam proses pembelajaran.

Psikologi ulayat sebagai bagian memperkaya pengetahuan dari pelbagai sudut pandang yang akan memperkuat pijakan piskolog dalam memandang diri (self) dan lingkungan. Kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dan befikir tingkat tinggi (higher-order thinking) adalah bagian esensial dari kompetensi Abad 21 (Dwyer, et.al, 2014) diharapkan menjadi salah satu output dalam psikologi ulayat.

Berfikir kritis dan berfikir tingkat tinggi sangat dibutuhkan dalam aktivitas intervensi yang melibatkan manusia. Karena manusia dan lingkungan adalah elemen kehidupan yang tidak statis, sehingga penghitungan komputational perlu adanya sentuhan relativitas kearifan lokal (local wisdom). Kemampuan berpikir mandiri dan belajar sepanjang hayat menjadi penting bagi individu yang ingin beradaptasi dengan lingkungan dan problem-problem kompleks yang baru (Griffin, McGaw, & Care, 2012). Pada level yang lebih luas, kemampuan mencerna dan mengevaluasi informasi untuk kemudian mengambil keputusan secara bijak mengenai pelbagai isu publik menjadi salah satu landasan bagi kehidupan demokrasi yang sehat (Weinstein, 1991).

Menurut Facione (2000) berpikir kritis bukan hanya soal memiliki keterampilan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, berpikir kritis juga melibatkan kemauan untuk menerapkan keterampilan-keterampilan kognitif tersebut. Psikolog tentu akan diperhadapkan pada permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan bersama kliennya. Berfikir kritis bermanfaat saat mencari kemungkinan solusi atau jawaban, serta informasi yang bisa digunakan untuk mengevaluasi tiap kemungkinan tersebut (Barzilai & Chinn, 2018). Sehingga dengan dorongan tersebut akan semakin memperkuat dalam mencari kemungkinan solusi berdasarkan bukti dan fakta bahkan yang berseberangan dengan pendapat pribadi psikolog sekalipun.

Konsep inklusifitas sebagai paradigma seorang psikolog, menjunjung tinggi kultur subjektif. Menurut Triandis (dalam Warnaen, 2002) kultur subjektif adalah cara khas suatu golongan kebudayaan memandangan lingkungan sosialnya, sebagai bentuk cara memandang atau mempersepsi lingkungannya. Karena sifatnya subjektif maka memposisikan setiap individu sebagai sosok integral yang memiliki alasan-alasan dalam setiap pilihan tindakannya.

Wawasan Budaya

Sebagaimana yang dibahas sebelumnya, bahwa teori yang dikembangkan dalam salah satu budaya belum tentu bisa menjelaskan gejala yang sama dalam konteks budaya lain. Sehingga dengan belajar psikologi ulayat, seorang psikolog mampu memiliki kekayaan referensi teori yang bersifat relatif dalam melakukan analisis maupun intervensi psikologis.

Psikologi ulayat yang juga sangat bersinggungan dengan psikologi sosial, seyogyanya juga memiliki keaslian dalam realitas masing-masing. Sebagaimana disampaikan oleh Berry (1999) bahwa setiap fenomena harus dipandang menurut konteks, dipapar, dan ditafsirkan secara felatif berdasarkan situasi budaya dan ekologi, tempat fenomena berlangsung.

Sekuat apapun pijakan berfikir kita, tidak akan mampu membongkar kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila kita memiliki keterbatasan referensi. Sehingga belajar psikolog ulayat semakin memperkaya psikolog dalam berfikir, merasa dan bertindak.

Ketajaman Pisau Analisis

Menurut Matsumoto (2004), mempelajari budaya merupakan suatu alat baru bagi disiplin ilmu Psikologi saat ini dalam membantu pengembangan masyarakat dalam kemampuan berfikir kritis, mempersiapkan kehidupan dan lingkungan sosial yang lebih baik. Budaya sebagai alat tentunya harus memiliki ketajaman dalam membedah suatu realitas psikologis.

Salah satu pendekatan kajian psikologi yang melihat budaya adalah aspek yang sangat penting dalam proses analisisnya adalah etnografi. Dimana menurut Fetterman (1998), etnografi adalah seni dan ilmu yang menggambarkan tentang sebuah kelompok atau budaya. Sementara Creswell (2008) menyatakan bahwa etnografi sebagai sebuah prosedur penelitian kualitatif yang menggambarkan, menganalisis, dan menafsirkan suatu pola kelompok pelbagai budaya yang dilakukan bersama baik perilaku, keyakinan dan Bahasa yang berkembang dari waktu ke waktu.

Emzir (2011) memiliki asumsi dasar dalam penelitian etnografi sebagai berikut: (1) prinsip utama kepentingan penelitian dipengaruhi oleh pemahaman kultural masyarakat; (2) suatu kemampuan mengindentifikasi masyarakat yang relevan dengan kepentingannya; (3) mampu memahami kelebihan kultural masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa atau jargon teknis dari kebudayaan tersebut dan memiliki temuan yang didasarkan pada pengetahuan komprehensif dari budaya tersebut.

Borg, et.al (1983) menyatakan bahwa peneliti etnografi setidaknya harus memiliki beberapa pandangan tentang lintas budaya yang menjadi objek penelitiannya, diantaranya:
  • Ethnology, mencakup teori-teori dasar budaya yang merupakan data pembanding dari beberapa budaya yang berbeda.
  • Pemerolehan budaya, yang memfokuskan diri pada konsep, nilai-nilai budaya, kemampuan dan tingkah laku yang merupakan budaya umum yang terjadi pada masing-masing kebudayaan.
  • Pergeseran budaya, yang fokus pada penelitian tentang seberapa besar struktur social mengntervensi kehidupan seseorang dalam suatu kasus tertentu.

Menurut Hemmersley (1990) prinsip metodologis dalam corak metode etnografi dibagi menjadi tiga, yakni:
  • Naturalisme. Etnografi bertujuan untuk menangkap suatu karakter yang muncul secara alami dan didapatkan melalui kontak langsung, bukan melalui intervensi atau rekayasa eksperimen
  • Pemahaman. Tindakan manusia berbeda dari objek fisik. Tindakan tersebut bukan hanya tanggapan stimulus namun juga interpretasi terhadap suatu stimulus. Untuk itu meneliti latar budaya yang lebih dikenal lebih baik daripada meneliti yang masih asing agar terhindar dari resiko kesalahpahaman budaya.
  • Penemuan. Penelitian yang didasari oleh penemuan sang peneliti, dimana suatu fenomena dikaji tidak hanya berdasar pada serangkaian hipotesis yang mungkin bisa saja terjadi kegagalan namun menjadi nyata setelah dibutakan oleh asusmsi yang dibangun ke dalam hipotesis tersebut.

Sehingga dapat kita lihat bahwa kajian psikologi ulayat akan memperkuat kemampuan seorang psikolog dalam membedah realitas psikologis dengan beragam kemungkinan-kemungkinan baru sebagai variabel suatu perilaku individu atau kelompok terbentuk.

Assessment dan Perencanaan Program

Salah satu kompetensi yang sangat penting bagi seorang psikolog adalah kemampuan melakukan assessment dan perencanaan program. Kode Etik Psikologi Tahun 2010 pasal 7 tentang Ruang Lingkup Kompetensi. Menjelaskan kompetensi seorang ilmuwan psikologi dan psikolog, dimana keduanya sama-sama memiliki kewenangan dalam memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara psikolog memiliki kewenangan tambahan yakni melakukan praktek setalah mendapatkan surat izin praktek untuk memberikan pelayanan psikologi.

Selain itu psikolog juga akan sering berjumpa dengan beragam kasus dan permasalahan yang membutuhkan keragaman prespektif agar tidak mudah terjebak pada nilai personal psikolog. Contohnya penangganan HIV/AIDS, NAPZA, kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, kebutuhan khusus (differential ability), hingga isu-isu yang terkait dengan ras, suku, budaya, kebangsaan, agama, Bahasa dan kelompok marjinal.

Psikolog harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk memastikan kompetensi dalam memberikan pelayanan yang dilakukan mampu menggali secara mendalam hingga mendapatkan diagnosis yang tepat. Kewenangan dalam memberikan pelayanan-pelayanan tersebut tentu tidak terlepas dari tahapan assessment dan perencanaan program pelayanan. Psikolog maupun ilmuwan psikologi harus membuat langkah standard dalam menangani kasus atau area yang belum mempunyai pedoman yang baku guna melindungi pengguna jasa psikologi serta pihak terkait.

Oleh sebab itu belajar psikologi ulayat menjadi salah satu pijakan agar dalam proses assessment dan perencanaan program dapat meminimalisir kesalahan seperti teori yang kurang relevan atau kurang menggali simpton yang tidak nampak dari perilaku klien.

Skil Interpersonal

Menurut Anderson (1999) kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang meliputi kemampuan untuk mengenali dan membuat perbedaan antara perasaan, kepercayaan, dan keinginan orang lain. Dimana kecerdasan interpersonal tersebut memiliki dimensi:
  • social sensitivity, yakni kemampuan individu dalam merasakan reaksi-reaksi dan perubahan perilaku individu lain;
  • social insight, kemampuan individu dalam memahami dan memecahkan masalah secara efektif pada sebuah relasi sosial;
  • social communication, kemampuan berkomunikasi secara verbal maupun non-verbal.

Sementara Buhrmester, et.al (1988), mengemukakan bahwa kecerdasan interpersonal adalah kecakapan yang dimiliki seorang untuk memahami pelbagai situasi sosial dimanapun berada serta bagaimana orang tersebut menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan harapan orang lain. Kecerdasan interpersonal tersebut terdiri dari lima kompetensi, yakni:
  • Kemampuan berinisiatif (initiation), yakni suatu usaha untuk memulai interaksi dengan orang lain atau lingkungan yang lebih luas. Sebagai usaha mencari pengalaman baru tentang dirinya ataupun dunia luar agar lebih memahami.
  • Kemampuan bersikap asertif (assertion), yakni kemampuan dan kemauan individu untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas serta mempertahankan hak-haknya dengan tegas.
  • Kemampuan bersikap terbuka (disclosure), yakni kemampuan membuka diri, menyampaikan informasi tentang dirinya serta memberi penghargaan kepada orang lain sehingga saling mengenali dan terbentuk interaksi yang akrab.
  • Kemampuan memberikan dukungan emotional (emotional support), kemampuan ini lahir dari rasa empati, sehingga mampu memahami kondisi orang lain dan memberi dukungan penguatan.
  • Kemampuan mengatasi konflik (conflict management), kemampuan ini meliputi penyusunan strategi mengatasi masalah, mengevaluasi serta melakukan pengembangan dengan sebaik-baiknya.

Dalam setiap aktivitas pelayanannya, psikolog tidak terlepas dari interaksi dengan manusia yang memiliki beragam latar belakang. Maka psikolog harus memiliki kemampuan interpersonal yang mampu menjembatani apa yang kita pikirkan dan orang lain rasakan. Karena tujuan psikolog dalam setiap aktivitas pelayanannya untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan yang melatarabelakangi suatu pandangan atau tindakan. Belajar psikologi ulayat akan sangat membantu psikolog agar tidak cepat menetapkan kesimpulan serta mudah beradaptasi dengan subjek yang akan digali.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, T., Ogles, B.M., Weis, A. 1999. Creative Use of Interpersonal Skills in Building a Therapeutic Alliance. Journal of Constructivist Psychology, 12, 313-330.
Barzilai, S., & Chinn, C. A. (2018). On the Goals of Epistemic Education: Promoting Apt Epistemic Performance. Journal of the Learning Sciences, 27(3), 353–389. https://doi.org/10.1080/10508406.2017.1392968
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. 1999. Psikologi Lintas Budaya, Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Borg, W.R. & Gall, M.D. Gall. (1983). Educational Research: An Introduction, Fifth Edition. New York: Longman.
Bronfenbrenner, U. 1979. Ecological Theory. Encyclopedia of Psychology. New York: American Psychological Association and Oxford University Press.
Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M. T., & Reis, H. T. 1988. Five Domains of Interpersonal Competence in Peer Relationship. American Psychological Association Inc.
Creswell, J.W. 2003 Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. United State of America: Sage Publication.
Dwyer, C. P., Hogan, M. J., & Stewart, I. 2014. An integrated critical thinking framework for the 21st century. Thinking Skills and Creativity, 12, 43–52. https://doi.org/10.1016/j.tsc.2013.12.004
Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta. Rajawali Pers
Facione, P. A. 2000. The disposition toward critical thinking: Its character, measurement, 13 and relationship to critical thinking skill. Informal Logic, 20(1), 61–84.
Fetterman, D.M. 1989 Etnography Step by Step, Sage Publication
Griffin, P., McGaw, B., & Care, E. 2012. Assessment and Teaching of 21st Century Skills. Dordrecht: Springer.
HIMPSI. 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia
Hammersley, M. 1990. Etnografi Ruang Kelas (Terjemahan). Semarang : IKIP Semarang Press.
Lewin, K. 1951. Field Theory of Social Science: Selected Theoretical Papers. (Edited by Dorwin Cartwright.) Pp. xx, 346. New York: Harper & Brothers.
Matsumoto, D., & Juang, L. 2004. Culture and Psychology. 3rd edition. Wordsworth: Thompson Learning Inc.
Santrock, J. W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Sarwono, S. W. 2012. Psikologi Ulayat. 2012. Jakarta: Fakultas Psikologi Persada Indonesia YAI.
Sundberg, N. D., Winebarger, A. A., & Taplin, J. R. 2007. Clinical Psychology. Evolving Theory, Practice, and Reasearch. New Jersey: Pentice Hall, Upper Saddler River.
Vardiansyah, D. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks
Warnaen, S. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Mata Bangsa
Weinstein, M. (1991). Critical Thinking and Education for Democracy. Educational Philosophy and Theory, 23(2), 9–29.

Posting Komentar

Instagram

DANIK EKA RAHMANINGTIYAS | Designed by Oddthemes | Distributed by Gooyaabi