by. Danik Eka R.
Tiba-tiba aku ingin menjadi pemulung, berprofesi menjadi pemulung. Saat orang bertanya apa pekerjaan anda, aku ingin menjawab : aku seorang pemulung. Walaupun toh masyarakat menganggap pemulung sebagai sebuah pekerjaan yang tidak memiliki nilai gengsi dalam mencapai status sosial tertentu, ku rasa memang tepat aku memutuskan menjadi pemulung.
Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang. Apakah daur ulang itu dilakukannya sendiri atau orang lain yang melakukannya dari barang-barang yang telah dikumpulkannya tersebut. Dalam lingkungan sosial masyarakat, pemulung sering dianggap memiliki konotasi negatif. Karena rata-rata fenomena pemulung sering kita lihat pada kehidupan migran oleh komunitas manusia dengan kualitas sumber daya yang rendah. Dia diidentikkan dengan kemiskinan, ketidaklayakan, dan kaum marginal. Pekerjaan dengan tingkat bahaya yang tinggi tanpa perlindungan kerja dari negara, institusi swasta, ataupun masyarakat.
Namun bagiku pemulung tetaplah berkelas, karena dia segala yang terbuang (entah apa itu) memiliki nilai lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Ada sebuah proses perubahan yang dilakukan, memberi makna dari tiap yang dianggap tak bermakna. Dia menjadi sebuah pekerjaan mandiri pada sektor non-formal. Sebagaimana disebutkan oleh Tadjuddin Noer Effendy dalam bukunya Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, pemulung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Mungkin benar, manusia menyukai keindahan dan kebaikan sehingga cenderung menghindari yang buruk dan membuangnya. Orientasi matrealistik juga mengarahkan manusia untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya serta menghindari kerugian sekecil-kecilnya.
Mengerikan juga saat ku lihat anak-anak nakal, miskin, bodoh ditambah lagi tidak memiliki motivasi berubah menjadi lebih baik. Mereka terbuang, dikucilkan, akhirnya berserakan menjadi ancaman sosial. Bantuan baik dari pemerintah maupun swasta jarang sekali melirik kelompok-kelompok ini. Mungkin di beberapa kota besar terdapat lembaga sosial yang sekedar 'menampung' saja. Mereka, 'sampah' ini juga manusia, memiliki otak dan hati, entah seberapa besar otaknya dan seberapa lapang hatinya. Tetapi mereka tetaplah makhluk yang dinamis, makhluk yang bisa berubah, menjadi semakin baik atau semakin buruk. Hanya saja terdapat proses belajar sosial yang salah dan lingkungan yang menolak keberadaannya.
Layaknya sampah_barang bekas yang terbuang. Mereka dianggap tak bernilai, tak bermakna, tidak dapat diterima untuk sebuah keserasian, harmoni dan keindahan. Bahkan keberadaannya pun menjadi sebuah ancaman yang membawa kekumuhan, penyakit, dan membahayakan bena-benda di sekitarnya. Apakah Tuhan menciptakan benda tanpa makna? bukankah bakteri pun bisa mengurai barang busuk menjadi zat yang mampu menyuburkan kehidupan lainnya.... Apalagi manusia yang setiap geraknya mampu menghasilkan sesuatu.
Tak dapat dipungkiri potensi destruktif manusia (unsur thanatos = mati) akan mampu mengacaukan peradaban dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Namun itu akan muncul bersama perilaku konformitas pada kelompok yang sama, kesadaran dan motivasi diri yang lemah serta lingkungan sosial yang mengisolir.
Sampah ini perlu dipungut lalu didaur-ulang agar memiliki nilai yang lebih tinggi, butuh pemulung bukan pahlawan yang mewarkan solusi dan tawaran matrealis. 'Sampah-sampah' ini perlu dicintai dan dimengerti bahwa mereka hanya melakukan kritik pada sistem tatanan sosial yang tidak berpihak pada mereka, yang tanpa dosa memberi label tanpa peduli sebenarnya mereka juga ingin menjadi 'normal' namun tak tau : apa sebenarnya mereka dan mau apa. Mungkin yang mereka tau hanya bertahan hidup dan menggugat dengan cara mereka.
Menjadi pemulung mungkin hanya sebuah ikhtiar kecil menjadi manusia. Daripada sibuk mengkritik sesuatu lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukan walau pun sedikit demi sedikit. Namun jika dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan akan membuat kita semakin dekat dengan situasi ideal yang diharapkan. (Malcom Gladwell)
Tiba-tiba aku ingin menjadi pemulung, berprofesi menjadi pemulung. Saat orang bertanya apa pekerjaan anda, aku ingin menjawab : aku seorang pemulung. Walaupun toh masyarakat menganggap pemulung sebagai sebuah pekerjaan yang tidak memiliki nilai gengsi dalam mencapai status sosial tertentu, ku rasa memang tepat aku memutuskan menjadi pemulung.Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah tertentu untuk proses daur ulang. Apakah daur ulang itu dilakukannya sendiri atau orang lain yang melakukannya dari barang-barang yang telah dikumpulkannya tersebut. Dalam lingkungan sosial masyarakat, pemulung sering dianggap memiliki konotasi negatif. Karena rata-rata fenomena pemulung sering kita lihat pada kehidupan migran oleh komunitas manusia dengan kualitas sumber daya yang rendah. Dia diidentikkan dengan kemiskinan, ketidaklayakan, dan kaum marginal. Pekerjaan dengan tingkat bahaya yang tinggi tanpa perlindungan kerja dari negara, institusi swasta, ataupun masyarakat.
Namun bagiku pemulung tetaplah berkelas, karena dia segala yang terbuang (entah apa itu) memiliki nilai lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Ada sebuah proses perubahan yang dilakukan, memberi makna dari tiap yang dianggap tak bermakna. Dia menjadi sebuah pekerjaan mandiri pada sektor non-formal. Sebagaimana disebutkan oleh Tadjuddin Noer Effendy dalam bukunya Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, pemulung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Kegiatan usaha yang tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.
- Pada umumnya tidak memiliki izin usaha
- Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi ataupun jam kerja.
- Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah belum sampai ke sektor ini
- Unit usaha sudah keluar masuk dari sub unit usaha satu ke sub-unit usaha lain
- Teknologi yang digunakan masih primitif.
- Modal dan perputaran masih relatif kecil, sehingga skala operasional juga relatif kecil
- Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha ini tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
- Pada umumnya unit kerja termasuk golongan "One Man Enterprise" dan kalau mepekerjakan buruh berasal dari keluarganya sendiri.
- Sumber daya modal pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.
- Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat desa/kota berpenghasilan menengah.
Mungkin benar, manusia menyukai keindahan dan kebaikan sehingga cenderung menghindari yang buruk dan membuangnya. Orientasi matrealistik juga mengarahkan manusia untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya serta menghindari kerugian sekecil-kecilnya.
Mengerikan juga saat ku lihat anak-anak nakal, miskin, bodoh ditambah lagi tidak memiliki motivasi berubah menjadi lebih baik. Mereka terbuang, dikucilkan, akhirnya berserakan menjadi ancaman sosial. Bantuan baik dari pemerintah maupun swasta jarang sekali melirik kelompok-kelompok ini. Mungkin di beberapa kota besar terdapat lembaga sosial yang sekedar 'menampung' saja. Mereka, 'sampah' ini juga manusia, memiliki otak dan hati, entah seberapa besar otaknya dan seberapa lapang hatinya. Tetapi mereka tetaplah makhluk yang dinamis, makhluk yang bisa berubah, menjadi semakin baik atau semakin buruk. Hanya saja terdapat proses belajar sosial yang salah dan lingkungan yang menolak keberadaannya.
Layaknya sampah_barang bekas yang terbuang. Mereka dianggap tak bernilai, tak bermakna, tidak dapat diterima untuk sebuah keserasian, harmoni dan keindahan. Bahkan keberadaannya pun menjadi sebuah ancaman yang membawa kekumuhan, penyakit, dan membahayakan bena-benda di sekitarnya. Apakah Tuhan menciptakan benda tanpa makna? bukankah bakteri pun bisa mengurai barang busuk menjadi zat yang mampu menyuburkan kehidupan lainnya.... Apalagi manusia yang setiap geraknya mampu menghasilkan sesuatu.
Tak dapat dipungkiri potensi destruktif manusia (unsur thanatos = mati) akan mampu mengacaukan peradaban dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Namun itu akan muncul bersama perilaku konformitas pada kelompok yang sama, kesadaran dan motivasi diri yang lemah serta lingkungan sosial yang mengisolir.
Sampah ini perlu dipungut lalu didaur-ulang agar memiliki nilai yang lebih tinggi, butuh pemulung bukan pahlawan yang mewarkan solusi dan tawaran matrealis. 'Sampah-sampah' ini perlu dicintai dan dimengerti bahwa mereka hanya melakukan kritik pada sistem tatanan sosial yang tidak berpihak pada mereka, yang tanpa dosa memberi label tanpa peduli sebenarnya mereka juga ingin menjadi 'normal' namun tak tau : apa sebenarnya mereka dan mau apa. Mungkin yang mereka tau hanya bertahan hidup dan menggugat dengan cara mereka.
Menjadi pemulung mungkin hanya sebuah ikhtiar kecil menjadi manusia. Daripada sibuk mengkritik sesuatu lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukan walau pun sedikit demi sedikit. Namun jika dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan akan membuat kita semakin dekat dengan situasi ideal yang diharapkan. (Malcom Gladwell)
3 Komentar
Peran "Pemulung" menjadi salah kaprah di masyarakat kita, dibandingkan peran "Koruptor" yang ternyata jauh keberadaannya di bawah "pemulung" yang mulia sejak dahulu kala. Pemulung adalah upaya mengumpulkan yang tercecer atau terbuang hingga hasilnya memberikan nilai tambah. Karena mengumpulkan dari yang terbuang kiranya menjadi rendah. Namun jika mencermati prosesnya menjadikan produk terbaru, maka peran pemulung banyak diharapkan dan diperebutkan banyak orang secara diam-diam.....
BalasHapusada pandangan bebeda yang tertanam dalam masyarakat kita
BalasHapuspemulung pada dsarnya hanya sebuah profesi pilihan dari keniscayaan yg ada...para pemulung pada dasarnya mereka yg hidupnya under standar living yg semestinya menjadi tanggung jawab negara untuk memeilharanya...
BalasHapustapi toh..nyatanya sekarang pakir miskin dan anak - anak terlantar bukan hanya di pelihara negara saja .....tetapi sekarang sudah di pelihara serta dikembang biakan.....